Apa yang Ditakutkan dari Jokowi? Antara Bayang-Bayang Kekuasaan dan Keraguan Pemerintahan Prabowo

June 11, 2025

Apa yang Ditakutkan dari Jokowi? Antara Bayang-Bayang Kekuasaan dan Keraguan Pemerintahan Prabowo

Pergantian kekuasaan adalah momen penting dalam demokrasi. Seharusnya, ia membawa angin segar berupa koreksi atas kesalahan masa lalu dan peneguhan terhadap agenda reformasi. Namun, setelah lengsernya Jokowi dari kursi kepresidenan, kita nyaris tidak melihat langkah korektif apa pun dari pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo.

Pemerintahan terlihat business as usual, seolah tak terjadi apa-apa selama satu dekade terakhir yang begitu penuh kontroversi.
Pertanyaannya: Apa yang sebenarnya ditakutkan dari Jokowi?

Mengapa pemerintah baru belum juga menunjukkan upaya koreksi atas kebijakan atau narasi bermasalah yang diwarisi dari era sebelumnya?

1. Warisan Kekuasaan yang Belum Usai
Jokowi mungkin telah lengser secara formal, tetapi kekuasaannya belum benar-benar berakhir. Ia meninggalkan jaringan kekuasaan yang masih sangat aktif—baik secara politik maupun ekonomi. Beberapa pos penting di pemerintahan dan BUMN masih diisi oleh orang-orang dekatnya.

Bahkan lebih dari itu, ia berhasil “mengabadikan” pengaruhnya melalui penempatan Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden terpilih, sebuah langkah kontroversial yang lahir dari perubahan hukum lewat Mahkamah Konstitusi yang dipertanyakan integritasnya.

Ini bukan sekadar politik dinasti. Ini adalah model baru oligarki elektoral, di mana kekuasaan tidak berhenti pada akhir masa jabatan, tetapi bertransformasi menjadi jaringan pengaruh yang tetap bekerja di balik layar.

2. Kebijakan-Kebijakan Bermasalah yang Tak Disentuh
Beberapa kebijakan Jokowi secara terbuka dinilai bermasalah, bahkan melanggar prinsip konstitusi:
* UU Cipta Kerja yang cacat prosedur formal dan digugat masyarakat sipil.
* Proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang menyedot anggaran besar namun belum jelas urgensi dan transparansinya.
* Mobil Esemka yang sejak awal digembar-gemborkan sebagai karya anak bangsa, namun hingga kini tetap menyisakan banyak tanda tanya dan dugaan manipulasi opini publik.

Namun, mengapa tak ada langkah investigatif dari pemerintahan baru untuk mengoreksi, mengaudit, apalagi mengevaluasi secara terbuka?

Jawabannya mungkin sederhana: karena Prabowo adalah bagian dari konsensus politik yang dibentuk oleh Jokowi sendiri.

Prabowo tidak naik dengan agenda korektif terhadap Jokowi. Ia naik sebagai kelanjutan dari narasi “rekonsiliasi nasional” dan “keberlanjutan pembangunan”. Artinya, terlalu banyak hal yang dikompromikan.

3. Bayang-Bayang Reputasi Populisme Jokowi
Jokowi adalah presiden yang sangat kuat secara pencitraan. Gaya komunikasinya sederhana, merakyat, dan terkesan bersih (meskipun faktanya sering kontradiktif)
Kritik keras terhadapnya mudah dianggap sebagai “serangan politik” atau “provokasi”.

Pemerintah baru barangkali takut mengusik narasi populisme Jokowi yang masih melekat kuat di sebagian masyarakat.
Ini adalah persoalan politik persepsi: siapa pun yang menyentuh warisan Jokowi, bisa dengan cepat dianggap tidak pro-rakyat. Maka, menjaga status quo menjadi pilihan yang lebih aman secara politik.

4. Perbedaan Nasib dengan Soeharto
Berbeda dengan Jokowi, Soeharto tumbang dalam kondisi krisis multidimensi dan kehilangan legitimasi dari semua arah. Rakyat turun ke jalan, mahasiswa bergerak, militer pun perlahan menarik dukungan. Lembaga-lembaga negara waktu itu tidak punya pilihan selain menindak dan merombak kekuasaan lama, termasuk yayasan-yayasan Soeharto yang dijadikan objek penyelidikan.

Jokowi, sebaliknya, turun bukan karena tekanan publik, melainkan karena masa jabatannya usai secara konstitusional. Ia bahkan bisa dikatakan turun dalam posisi “menang”, karena berhasil memastikan aliansinya tetap berkuasa. Dalam situasi seperti ini, wajar jika tidak ada “pembersihan” kekuasaan seperti yang terjadi pada Orde Baru.

5. Apa yang Bisa dan Harus Dilakukan?
Jika pemerintahan Prabowi serius ingin membangun tata kelola negara yang bersih dan berorientasi pada keadilan rakyat, maka perlu ada langkah-langkah korektif:
* Audit publik atas proyek-proyek strategis nasional yang merugikan negara.
* Evaluasi ulang UU yang disahkan secara ugal-ugalan.
* Transparansi penuh atas aset dan peran yayasan-yayasan serta keluarga eks penguasa.
* Pemberdayaan KPK, Ombudsman, dan lembaga pengawas lainnya secara independen.

Tentu ini butuh nyali politik yang besar. Tetapi jika itu tidak dilakukan, maka transisi kekuasaan ini hanya akan menjadi babak baru dari oligarki, bukan reformasi.

Penutup:
Jokowi adalah simbol dari bagaimana kekuasaan bisa diwariskan, direproduksi, bahkan dilanggengkan tanpa harus memegang jabatan.

Ketakutan terhadapnya bukan karena ia menakutkan secara fisik atau otoriter, tetapi karena pengaruh politik dan ekonominya telah dibungkus dalam narasi kerakyatan yang sangat efektif.

Pemerintah baru bisa saja tidak takut secara personal pada Jokowi. Tapi mereka mungkin takut pada apa yang ditinggalkannya: jaringan loyalis, narasi populis, dan pengaruh media yang begitu kuat. Dan selama rasa takut itu menguasai ruang politik, kita tidak akan pernah benar-benar merdeka dari bayang-bayang kekuasaan masa lalu.

Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam