Partisipasi Politik dalam Perspektif Manhaj Salaf: Antara Prinsip Aqidah dan Realitas Fiqih Kontemporer
Pendahuluan
Manhaj salaf adalah metode beragama yang mengacu pada pemahaman dan praktik generasi terbaik umat ini: para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Namun, dalam konteks kehidupan modern, muncul realitas-realitas baru yang menuntut pengkajian ulang dalam koridor fiqih yang dinamis dan berlandaskan kaidah syar’iyyah yang kokoh.
Salah satu persoalan kontemporer yang sering menjadi perbincangan adalah keterlibatan dalam partai politik dan pemilu dalam sistem demokrasi. Sebagian kalangan memandang bahwa keterlibatan tersebut bertentangan dengan manhaj salaf. Namun dalam tulisan ini, akan dijelaskan bahwa keterlibatan dalam partai politik dapat dibenarkan secara syar’i, selama berada dalam kerangka fiqih muamalah siyasiyah (interaksi politik) yang mempertimbangkan maslahat, mafsadat, dan kondisi lokal.
1. Politik sebagai Wilayah Ijtihadiyah
Dalam pembahasan fiqih, persoalan pemerintahan dan sistem politik termasuk ke dalam masā’il ijtihādiyyah, yakni perkara-perkara yang tidak memiliki nash qath’i yang mengatur secara rinci, dan oleh karena itu diserahkan kepada ijtihad para ulama.
> Kaedah Ushul:
“Al-ijtihād lā yunqadhu bil-ijtihād.”
(Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad yang lain, selama tidak ada dalil qath’i.)
Dalam pandangan ini, sistem demokrasi dan partai politik bukanlah bagian dari ibadah mahdhah (seperti shalat atau puasa) yang haram diubah, melainkan bagian dari muamalah siyasiyah, yang hukum dan penerapannya bergantung pada realitas lokal, kondisi sosial, serta kemampuan umat Islam dalam mengatur urusannya.
2. Realitas Lokal: Demokrasi dalam Konteks Negara Non-Islam
Indonesia bukanlah negara Islam dalam struktur kekuasaan formalnya. Tidak ada lembaga khilafah atau imamah yang menjadi rujukan tunggal umat. Maka, pilihan yang tersedia adalah berpartisipasi dalam sistem yang ada untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam, memperkecil kerusakan, dan memperluas maslahat.
> Kaidah Fiqih:
“Yukhtāru akhaffu al-dhararayn.”
(Dipilih mudharat yang lebih ringan ketika terpaksa harus memilih dua keburukan.)
Dalam konteks ini, berpartisipasi dalam pemilu dan struktur partai dapat menjadi sarana untuk amar ma’ruf nahi munkar, bukan bentuk loyalitas terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Bahkan dalam sejarah Islam klasik, para ulama seperti Ibn Taimiyah telah menyatakan bahwa:
> “Memimpin manusia adalah kewajiban terbesar setelah keimanan, karena urusan manusia tidak akan tegak kecuali dengan kepemimpinan.”
(Majmū’ al-Fatāwā, 28/390)
3. Sikap Ulama Salafiyah Kontemporer
Sejumlah ulama salafiyah kontemporer memberikan pandangan yang lebih kompleks dan berimbang terkait demokrasi dan partai politik:
Syaikh Ibn ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, boleh mencalonkan diri dalam parlemen, jika seseorang memiliki kemampuan untuk mencegah kemungkaran dan mendatangkan maslahat.
Syaikh Shalih Al-Fauzan, walau mengkritisi demokrasi sebagai sistem asing, juga tidak menutup pintu untuk umat Islam terlibat selama diniatkan untuk memperjuangkan Islam.
Lajnah Da’imah (Fatwa no. 3143): menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu di negeri-negeri yang tidak berhukum dengan syariat, boleh dilakukan dengan niat untuk memilih wakil rakyat yang lebih dekat pada kebenaran dan berjuang demi kepentingan umat Islam.
4. Partai Politik Sebagai Sarana, Bukan Tujuan
Berpartisipasi dalam partai politik tidak boleh dipandang sebagai loyalitas terhadap sistem, melainkan sebagai wasilah (sarana) untuk menjaga eksistensi umat, memperjuangkan nilai-nilai kebaikan, dan mencegah dominasi pemikiran sekuler yang merugikan umat Islam.
Keterlibatan ini:
Bukan bentuk penyimpangan dari aqidah salaf,
Tidak berarti menghalalkan seluruh nilai-nilai demokrasi,
Tetapi adalah ijtihad fiqih yang bersifat kontekstual dan bertujuan maslahat.
Penutup
Menjadi pengurus partai politik bagi seorang pengikut manhaj salaf bukanlah bentuk penyimpangan jika dipahami dalam kerangka fiqih muamalah siyasiyah. Selama prinsip-prinsip Islam dijaga, niatnya ikhlas, dan langkah-langkahnya tunduk kepada maslahat umat serta kaidah syariah, maka hal ini adalah bagian dari tafaqquh fid-din dalam ranah kontemporer.
Dengan kata lain:
Berpegang teguh kepada manhaj salaf dalam aqidah dan ibadah tidak bertentangan dengan keterlibatan dalam perjuangan politik, selama hal itu dimaknai sebagai ijtihad untuk memperjuangkan kebaikan dan menolak kerusakan, dalam batasan syariat dan realitas.

