Demokrasi yang Kehilangan Suara
(Ketika Kekuasaan Partai Menyandera Parlemen dan Krisis Kemanusiaan Menjadi Latar Sunyi)
Penyalin: Gus Badawi
Kerabat Pemimpin Spritual Nusantara
Reformasi 1998 lahir dari satu janji besar: membongkar struktur kekuasaan yang korup, kolutif, dan nepotistik, sekaligus mengembalikan kedaulatan rakyat ke jantung demokrasi. Dua puluh tujuh tahun telah berlalu, janji itu terdengar makin sayup. Bukan karena tak ada pemilu, partai, atau parlemen, melainkan karena ruh demokrasi itu sendiri perlahan tercerabut dari akarnya.
Diskursus tentang pemakzulan presiden di tengah bencana — yang belakangan mengemuka — sebenarnya bukan soal layak atau tidaknya seorang kepala negara dimintai pertanggungjawaban konstitusional. Isu yang lebih dalam dan mendasar adalah: masihkah demokrasi kita bekerja sebagai sistem pengawasan kekuasaan, atau ia telah berubah menjadi sekadar ritual prosedural tanpa makna substansial?
Reformasi yang Berhenti di Permukaan
Seorang aktivis senior dari Yogyakarta, dalam menanggapi diskursus tersebut, mengingatkan kita pada satu fakta pahit: reformasi gagal membongkar KKN secara struktural. Ia hanya memindahkan pusatnya. Jika pada masa Orde Baru KKN bersemayam di jantung negara, kini ia bersemayam di tubuh partai politik.
Fenomena “AMPI” — Anak, Mantu, Ponakan, dan Ipar — yang dahulu menjadi simbol nepotisme Golkar, ternyata tidak benar-benar mati. Ia hanya berganti baju dan menyesuaikan diri dengan iklim pasca reformasi. Dinasti politik tumbuh subur, bukan sebagai anomali, tetapi sebagai praktik yang nyaris dinormalisasi.
Partai politik, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, justru berubah menjadi gerbang kekuasaan yang sangat tertutup. Di tangan ketua umum partai, terpusatlah kewenangan yang luar biasa: menentukan caleg, mengatur posisi fraksi, mendistribusikan jabatan, hingga senjata pamungkas bernama recall. Dalam struktur semacam itu, anggota parlemen praktis kehilangan otonomi politiknya.
Parlemen yang Tak Lagi “Parle”
Secara etimologis, parlemen berasal dari kata parler — berbicara. Namun di Indonesia hari ini, parlemen justru semakin sunyi dari suara rakyat. Ia berbicara bukan berdasarkan aspirasi konstituen, melainkan kehendak elite partai. Fraksi-fraksi menjadi barisan yang bergerak serempak, patuh, dan nyaris tanpa dissenting opinion.
Ungkapan Jawa “suwargo nunut, neroko katut” terasa relevan. Ketika ketua umum partai sudah “diusap ubun-ubunnya,” maka selesailah urusan. Arah politik ditentukan dari atas, dan parlemen tinggal mengikuti. Ketua fraksi tak ubahnya kerbau dicucuk hidung: ditarik ke mana, ke situlah ia berjalan.
Dalam situasi seperti itu, mustahil mengharapkan parlemen berani menjalankan fungsi pengawasan secara sungguh-sungguh — terlebih dalam situasi krisis kemanusiaan akibat bencana seperti sekarang ini. Mekanisme konstitusional yang tersedia ada, tetapi keberanian politik untuk menggunakannya lumpuh oleh ketergantungan struktural pada partai.
Pembisuan yang Halus
Krisis demokrasi tersebut diperparah oleh wajah media penyiaran yang kian timpang. Memang belum ada pembredelan seperti masa lalu, tetapi yang terjadi adalah pembisuan halus. Aksi buruh, protes mahasiswa, kritik kebijakan, bahkan laporan bencana, kerap tersingkir dari ruang utama pemberitaan.
Sebaliknya, gosip artis, perceraian selebritas, dan sensasi murahan mengalir deras tanpa hambatan. Bukan berarti hiburan tak penting, tetapi ketika ruang publik didominasi oleh hal-hal remeh, demokrasi kehilangan ekosistem deliberatifnya. Rakyat dijejali distraksi, bukan informasi yang mencerahkan.
Ironisnya, justru dari kalangan pelawak sering muncul kritik sosial yang lebih tajam dan jujur. Humor menjadi jalan terakhir untuk menyampaikan kebenaran di tengah ruang publik yang makin steril dari kritik serius.
Demokrasi Prosedural Tanpa Jiwa
Sepuluh tahun terakhir, kita menyaksikan dekadensi demokrasi yang nyata. Pemilu tetap berlangsung, partai tetap eksis, parlemen tetap bersidang. Namun semua itu berjalan tanpa kompas etik dan orientasi kerakyatan yang jelas. Politik kehilangan “Utara-Selatan”-nya.
Demokrasi kita bergerak bukan karena aspirasi rakyat, melainkan aspirasi kekuasaan. Ia dikendalikan oleh segelintir elite partai yang tak tersentuh mekanisme akuntabilitas internal. Selama struktur tersebut dibiarkan, wacana tentang demokrasi substantif — apalagi pemakzulan sebagai instrumen konstitusional — akan selalu terdengar seperti halusinasi.
Mendesak Reformasi UU Partai Politik
Karena itu, titik tekan perbaikan demokrasi tidak bisa lagi dihindari: reformasi Undang-Undang Partai Politik. Dominasi ketua umum harus dibatasi secara tegas melalui norma hukum yang jelas dan sanksi yang efektif. Kepemimpinan partai perlu diarahkan pada model kolektif-kolegial atau presidium, bukan figur tunggal yang nyaris absolut.
Tanpa itu, anggota DPR akan selamanya menjadi “wayang golek”: hidup, bergerak, tetapi tak berkehendak. Dan selama partai tidak direformasi, krisis demokrasi kita akan tetap bersifat struktural — bukan sekadar soal siapa presiden atau siapa yang layak dimakzulkan.
Di titik inilah keprihatinan kemanusiaan dan diskursus konstitusional bertemu. Bukan untuk berhalusinasi tentang pemakzulan, melainkan untuk menyadari bahwa demokrasi yang sehat adalah prasyarat utama agar negara mampu hadir secara bermartabat di saat rakyat paling membutuhkan. (Penulis adalah pemerhati sosial, seni, budaya, dan politik. Penulis: Yusrizal Ibrahim Lamo. Penulis dengan Latar Anggota Legislatif yang Asyik Berjoget Ria, di Gedung Parlemen yang Sarat Hiburan, bak Gedung Diskotek Dangdut di Pinggiran Kota saja (Foto: Ist.)
________
Beban Kerusakan Sistemik Yang Amat Berat Yang Dipikul Presiden Prabowo Subiyanto
Lembaga-lembaga Kekuasaan “Legislatif, Eksekutif, Yudikatif ” seolah “Oleng tanpa kesadaran elit-elit yang baik dan publik rakyat kebanyakan yang frustasi – permissif – pesimis – pragmatis oportunis/ munafik – antroposentris/ menyerah kalah dengan budaya buruk yang ada, tak disiplin, tak berkesadaran – bertanggung jawab ‘sistem sosial’, instan/ menerabas dst.
Berlangsung sudah sejak Orde Baru, yang Otoriter – Kekuasaan di bawah Satu Tangan “Jendral Tersenyum Pak Harto” yang berorientasi “Politik Kekuasaan, Minus Politik Kerakyatan & Politik Kebangsaan”, yang lalu oleh George Soros digulirkan “Krisis Moneter yang menjadi Krisis Multidimensi”, yang “melengserkeprabonkan kekuasaan Rezim Pak Harto” pada Mei 1998, yang disusul “Orde Reformasi yang mati sebelum bertumbuh/ bertunas”. (Prof Dr Amien Rais).
Anak-anak bangsa yang umat beragama (seputar 87% Islam & 13%-nya Non Islam) hanya Pasif – Pasrah melihat Krisis Multidimensi dengan “kesalehan ritual minus kesalehan sosial” (Anwari WMK).
“Tuhan YNE – Allah Swt tak ditakuti, bangsa ini takut bertindak pada pelanggar hukum – ada hukum tapi tak ada hukuman, Nilai-nilai Universal Pancasila Seutuhnya/ UUD45 Asli belum diperjuangkan sungguh-sunguh, Pancasila baru butir-butir seperti telur belum dioperasionalkan – diturunkan – diamalkan secara holistik dalam realitas, Pancasila belum ada realitanya dalam sistem kehidupan, kesadaran publik masih tradisional yang irasional – dengan mentalitas metadunia yang cenderung feodal – tanpa etika sosial, 97% telah keluar dari ‘Jati Diri Bangsa – UUD45 Asli’ sejak Amandemen UUD45 tahun 2002 dst-dst (Prof Dr Salim Said, Gus Dur, Mursyid Habib Fakih Hasyim bin Tahir QS, Letjen Purn Sajidiman Soerjohadiprodjo, KH Hasyim Muzadi, Budayawan Sujiwo Tejo, Prof Dr Soedijarto, Prof Dr Soedjatmoko, Prof Dr Qodi Azizi, Prof Dr Kaelan dkk).
Gambaran Lembaga Legilatif yang memprihatinkan yang seolah ‘dead lock’ tak ada jalan keluar. “Seperti lorong gelap tanpa ada ujungnya” (Budayawan, Penyair “Burung Merak, WS Rendra).
Sama saja dengan Lembaga Eksekutif yang meliputi seluruh aparat (kecuali amat sedikit) yang tidak ‘good governance’ bekerjasama dengan fenomena Pemilik Modal melahirkan fenomena “2,5 penduduk menguasai 80% sektor ekonomi nasional, ini tidak adil!,” teriak KH Dr Hasyim Muzadi, Mantan Ketua NU.
Begitu pun “Lembaga Yudikatif” dengan mentalitas penegak hukumnya yang amat memprihatinkan kita. Yaitu “Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara” dengan fenomena “Mafia Peradilannya” yang memprihatinkan Rakyat Awam yang mungkin 90% lebih dari penduduk Indonesia.
Apa yang dikatakan Bung Karno kini terjadi, “kita dijajah Bangsa Sendiri yang daya destroi peradabannya jauh lebih besar dari Penhajah Asing/ Belanda”.
Harapan tinggal pada Pak Presiden Prabowo Subiyanto, yang ikhlas buat rakyat (Gus Dur), dengan “Gerakan Akseleratifnya yang perlahan mengeliminir Anasir-anasir Buruk terhadap Pohon Peradaban Berkesadaran Esoteris – Ruh Nusantara Indonesia”, didukung Dewan Tetua Bangsa, kelompok-kelompok Sejati Nusantara – Putra-putra Terbaik Bangsa “yang berintegritas & berdarah-darah bagi kebangsaan yang kokoh – menyala-nyala” dari golongan/kelompok “Peduli Indonesia Damai – Rekonsiliasi Bangsa Nusantara Indonesia”, kelompok Progressif Transformatif, komunitas-komunitas “Berkesadaran” Romo Sri Eko Sriyanto Galgendu dkk, Ayah Guru Syaiful Karim – Kyai Achmad Chojim – Kang Abu Marlo – Guru dr I Wayan Mustika – Guru Putu Darsana – Kak Febby – Banthe Kheminda – Master Cheng Yen – Guru Elisa Sagala – KH Arrazy Hasyim – KH Muhammad Yusfi – KH Dr Fachruddin Faiz, Ustadzah Halimah Al Idrus, Mas Hendra “Ngaji Roso”, Mas Bimo “Happy Hokie” dkk yang maaf tak disebutkan satu persatu.

