Matinya Demokrasi Kembali Ke Syuro Ummah

November 25, 2025

MATINYA DEMOKRASI KEMBALI KE SYURO UMMAH
Kado Milad ke-63 Dr. H. Ahmad Yani,S.H.MH
Ketua Umum Partai Islam Masyumi

Oleh
Nunu A Hamijaya
Penulis Buku Negara Ummat & Tetralogi Islam Bernegara

”Democracy is the worst form of goverment – except for all those other forms that have been tries. (W. Churchill)

Apakah Filosofische Grondslag Indonesia Merdeka?
Negara Republik Islam , Khilafah dan Imamah

Pada sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, ketua BPUPKI Dr Radjiman Wedyodiningrat ketika membuka sidang, bertanya kepada anggota badan itu: “apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka?

Ki Bagus Hadikusumo misalnya, menghendaki negara republik Islam, Soekiman Wirjosandjojo menginginkan negara khilafah. KH Ahmad Sanusi memberi usulan berupa sebuah negara dengan bentuk imamat, dipimpin seorang imam. Ketua Radjiman Wedyodiningrat menerima usulan itu sebagai alternatif ketiga, sementara Moh. Yamin keberatan. KH Ahmad Sanusi mengatakan: ‘maksud saya dengan imamat itu republic

——***——-

Di tengah-tengah krisis demokrasi di Indonesia sepuluh tahun terakhir dibawah otoriterisme Jokowi, terbit -lah buku ‘How Democracies Die’ (2018) karya dua ilmuwan politik, Profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Edisi bahasa Indonesia-nya diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dengan judul ‘Bagaimana Demokrasi Mati’.

Keduanya berpendapat bahwa kini demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator–jenderal militer–yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru oleh pemimpin yang menang melalui proses Pemilu yang curang dan penuh intrik politik uang dan birokrasi politik. Bagaimana kematian demokrasi itu bisa terjadi? Dalam buku ini dijelaskan bahwa kematian demokrasi bisa terjadi justru ketika kaum demagog (‘provokator’) ekstremis dibawa masuk ke dalam arus utama perpolitikan.

Levitsky dan Ziblat menyusun empat kunci perilaku seorang pemimpin atau calon pemimpin yang memiliki kecenderungan otoriter atau diktator.
1. Rejection of (or the weak commitment to) democratic rules of game.Keengganan untuk berkomitmen mengikuti aturan main dalam demokrasi
2. Denial of the legitimacy of political opponents.Menyangkal legitimasi lawan politik
3. Toleration and encouragement of violence. Toleransi dan mendorong penggunaan kekerasan
4. Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media Kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil pihak lawan, termasuk media
Tom Ginsburg dalam tulisannya ”Democratic Backsliding and the Rule of Law” menyatakan, demokrasi itu terkikis perlahan, bukan ujug-ujug hancur ditelan bumi.

Setidaknya terdapat 5 (lima) faktor utama bagi terkikisnya demokrasi. Pertama, usulan amandemen konstitusi untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Kedua, pelemahan terhadap sistem check and balances dari cabang kekuasaan lainnya.Ketiga, merusak negara hukum dan institusi pelindung negara hukum dengan melakukan konsolidasi kekuasaan di eksekutif. Keempat, adanya degradasi ruang publik dengan menipulasi informasi serta melakukan kontrol terhadap pers dan akademisi. Kelima, yang terakhir, dan terjadi baru-baru ini, memanipulasi pemilu.

Ujung kematian demokrasi juga terlihat pada robohnya supremasi hukum. Sebagai fondasi demokrasi, supremasi hukum justru diintervensi secara agresif untuk kepentingan politik penguasa dan mereka yang bersama penguasa, tanpa pertimbangan moral dan etika kenegaraan. Tak ada sikap kenegarawanan untuk menahan diri (self-restraint) agar terbebas dari ”politik cawe-cawe”. Inilah politik yang merobek-robek supremasi hukum yang telah membawa kehidupan demokrasi di ujung kematian.

Gagal Paham Soal Demokrasi sama dengan Musyawarah

Jelas, bahwa demokrasi tidaksama dengan musyawarah, baik dari segi sumber hukum maupun proses dan tujuannya. Oleh karena itu, gagal paham jika memaksakan bahwa demokrasi (apapun labelnya disebut, ada demokrasi + Pancasila, demokrasi + Terpimpin; demokrasi + liberal). Kedua konsep ini secara substantif dan prinsip bertolak-belakang, karena berbeda sumber kebenarannya, yaitu demokrasi pada ‘mayoritas rakyat’, sedangkan musyawarah pada ‘syariah islam’.

Dan ajaklah mereka itu bermusyawarah dalam persoalan itu, kemudian bila engkau sudah membulatkan kemauan, hendaklah kamu tawakal kepada h. SesunggAllaunya Allah suka kepada orangorang yang bertawakal (QS Ali Imran :159)

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS al Maidah, 50).

Surat Al-An’am ayat 116 menyatakan bahwa jika mengikuti kebanyakan orang, maka akan tersesat dari jalan Allah:

“Jika kamu mengikuti ‘kebanyakan’ orang-orang (mayoritas) , niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”

Solusinya : Kembalikan ke Syuro Ummah berdasarkan Syariah

Jadi, konsep syura menurut Islam adalah sistem pemerintahan dimana Allah Swt yang berdaulat. Syura mendasarkan semua permasalahan harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah, sedangkan demokrasi semua permasalahan dikembalikan kepada rakyat. Dalam syura, aturan, hukum, undang-undang harus terlebih dahulu diacukan kepada dasar dan sumber hukum Allah Swt dan Sunnah Rasulullah Saw,.

Dalam konsep syura, apapun masalah yang akan dibicarakan dalam majelis syura perlu terlebih dahulu diacukan kepada dasar dan sumber hukum Al Quran dan Sunnah, dan apabila tidak ada nas-nya (dasar Alquran dan Sunnah) yang kuat, maka para anggota majelis syuro melakukan ijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadis-hadis yang umum serta menyesuaikan dan mempertimbangkan dengan perkara yang sedang dibicarakan kemudian diqiyaskan dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang dibicarakan itu. Dalam sistem syura, kebenaran tidak diketahui dengan mayoritas, tetapi dengan kesesuaian terhadap sumber hukum syariat.

Pembentukan lembaga Majelis Syura atau ahlu al-hall wa al-aqd yang paling modern dalam Islam terjadi pertama kali pada masa pemerintah Bani Umayyah II di Spanyol yaitu pada masa Khalifah Al Hakam II (961-976 M). Pada saat itu anggota dari ahlu al-hall wa al-‟aqd terdiridari pembesar-pembesar negara dan sebagian lagi pemuka masyarakat, dan yang bertindak sebagai ketua adalah langsung oleh khalifah. Kedudukan anggota Majelis Syura ini adalah setingkat dengan pemerintah. Lembaga ini melakukan musyawarah dalam masalah-masalah hukum dan membantu khalifah menjalankan pemerintahan negara.

Maka, syuro ummah mengharuskan hadirnya ‘Negara Umat’ yang dijalankan oleh reprentatif kelembagaan ulil amri’ , yaitu kesatuan antara lembaga tanfiziyah dan lembaga syuro ummah sebagai lembaga tertinggi yang dijalankan oleh kelembagaa ulama, sebagaimana di Iran dikenal sebagai ‘walayatul faqih’ atau ‘ dewan wali songo’ zaman Kesultanan Demak. Realisasi majelis syura dalam konteks negara modern juga disebut lembaga konstitutif. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk mengamandemen Konstitusi suatu negara.

Madrasah Al I’anah, 24/11/2025