Meluruskan Klaim “Pendapat Prof. Jimly Paling Benar” terkait Polemik Ijazah Jokowi
Oleh: Augusto Sulistyo
Pegiat Media Sosial
Ada yang menarik dari tulisan Rosadi Jamani (Ketua SatuPena Kalimantan Barat), ketika menyebut bahwa pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie tentang polemik ijazah Presiden Jokowi adalah “jalan tengah yang paling benar”. Pada bagian inilah kita perlu menjaga kejujuran sejarah, sebab klaim tersebut beresiko membentuk persepsi publik bahwa argumen Prof. Jimly adalah temuan baru dan paling tepat, padahal faktanya tidak demikian. Apa yang dikatakan Prof. Jimly lewat tulisan Rosadi Jamali (minggu 16 november 2025) sesungguhnya bukan hal baru, bahkan sudah dilakukan lebih dulu oleh pihak yang pertama kali menggugat keabsahan ijazah Jokowi.
Sudah sejak tahun 2022, Prof. Eggi Sudjana, sebagai kuasa hukum Bambang Tri Mulyono, memilih jalur perdata untuk menguji otentisitas ijazah Jokowi. Ini penting dicatat karena jalur hukum yang dianggap sebagai “jalan tengah” oleh Jimly, bahwa permasalahan ijazah harus dibuktikan dulu di ranah perdata sudah dipraktekkan secara nyata dan resmi oleh Eggi dua tahun lalu. Artinya, logika hukum itu bukan temuan baru, melainkan jejak langkah yang sudah diambil oleh pionir perjuangan hukum di kasus ini. Jadi ketika ada yang menyebut pandangan Jimly sebagai “paling benar”, seolah-olah belum pernah ada upaya serupa sebelumnya, maka itu menyederhanakan sejarah dan menghapus fakta hukum yang sudah terjadi.
Mengapa jalur perdata dipilih? Karena Eggi sangat memahami prinsip fundamental hukum perdata berfokus pada objek sengketa dalam hal ini ijazah, sementara pidana menyasar perbuatan manusianya. Maka membuktikan dulu objeknya adalah tindakan hukum yang logis, sistematis, dan sesuai doktrin. Persis seperti yang diucapkan oleh Prof. Jimly hari ini. Jadi, kalau sekarang ada yang menyambut pandangan Jimly sebagai jalan tengah hukum yang “mencerdaskan”, justru sebaliknya, pandangan itu mengonfirmasi bahwa langkah yang diambil Eggi Sudjana di tahun 2022 sudah berada di jalur yang benar.
Namun sejarah mencatat arah kasus ini justru berubah menjadi pidana. Bukan karena keinginan penggugat, melainkan karena tergugat, yang saat itu masih menjadi Presiden RI, dan atas nama negara ia memilih merespons narasi dugaan ijazah palsu dengan tindakan hukum yang represif. Bambang Tri dan Gus Nur ditangkap, diadili, lalu divonis empat tahun penjara saat Jokowi masih menjabat. Padahal ijazah yang menjadi objek sengketa belum pernah diuji secara hukum di pengadilan perdata. Bukankah ironis ketika jalur yang kini dipuji malah diabaikan ketika pertama kali dilakukan?
Lebih menarik lagi, setelah Jokowi lengser dan pemerintahan berganti, Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Bambang Tri dan Gus Nur. Sejarah tata negara mengajarkan, amnesti tidak diberikan sembarangan. Ada unsur koreksi, kemanusiaan, dan pengakuan bahwa proses sebelumnya bermasalah. Maka amnesti itu menjadi penanda bahwa pendekatan hukum era Jokowi terhadap isu ijazah bukan sekedar prosedural, tetapi politis.
Di sinilah letak kekeliruan utama tulisan Rosadi Jamani. Menyebut pendapat Jimly sebagai yang “paling benar” tanpa menyebut fakta bahwa logika itu sudah dilakukan lebih dulu oleh Eggi, adalah sikap yang tidak menghormati catatan sejarah hukum perkara ini. Seakan-akan jalan tengah itu baru muncul hari ini, padahal ia sudah pernah dibuka, dilalui, dan bahkan ditutup paksa oleh kekuasaan.
Tentu opini ini tidak untuk menyerang pribadi Prof. Jimly. Beliau akademisi dan negarawan yang patut dihormati gagasannya. Namun publik juga berhak mendapatkan kebenaran sejarah, bahwa jalan logis yang ia kemukakan hari ini, pernah ditempuh dengan resiko perjuangan yang tidak ringan. Klien Eggi Sudjana ditangkap, dijatuhi hukuman, dan baru beberapa kemudian diberi amnesti oleh Presiden Prabowo.
Sanggahan ini bukan pula untuk menjatuhkan tulisan Rosadi Jamani. Justru sebaliknya, kritik ini disampaikan agar narasi publik tidak terjebak pada glorifikasi sepihak. Jika ingin menyebut pendapat sebagai “paling benar”, maka pastikan ia tidak menghapus jejak perjuangan hukum orang-orang yang lebih dulu mencoba menjalankan logika yang sama, bahkan saat konsekuensinya tidak berupa pujian, tetapi penjara.
Sebelum memuji pandangan Jimly sebagai jalan tengah hukum, mari tengok fakta, Eggi Sudjana sudah melangkah di jalan itu sejak awal. Yang berbeda hanyalah, ketika ia melakukannya, tafsir keadilan tidak berpihak, dan negara memilih untuk menghukum, baru kemudian mengoreksinya lewat amnesti.
Maka mari menempatkan semuanya di tempat yang proporsional. Pandangan Jimly tentu penting. Tetapi menyebutnya “paling benar” tanpa menyebut siapa yang lebih dulu melakukannya justru mencederai kejujuran intelektual. Opini ini hadir bukan untuk menyerang, tetapi untuk menjaga agar sejarah hukum tidak direvisi oleh narasi yang tergesa-gesa. Agar publik mengerti, yang benar bukan hanya yang dikatakan hari ini, tetapi juga yang telah diperjuangkan kemarin oleh Eggi Sudjana dan kawan-kawan tim kuasa hukum Bambang Tri dan Gus Nur.
===000===
Kalibata, Jakarta Selatan
Ahad 16 November 2025, 22:54 WIB

