MEMPERJUANGKAN OTONOMI KEPOLISIAN
(sebuah esai tentang institusi yang kehilangan dirinya)
Oleh: Radhar Tribaskoro
Ada sebuah ironi yang jarang kita lihat, mungkin karena kita terlalu sibuk marah. Kita mengumpulkan kisah-kisah tentang polisi—yang ikut mengaburkan kebenaran, yang menutup pintu bagi rasa keadilan, yang muncul sebagai kekuatan yang gelap di jalanan dan terang di pusaran kekuasaan. Kita menyimpan nama-nama mereka dalam memori publik: yang korup, yang memukul, yang menghilangkan bukti, yang mematuhi perintah-perintah yang tak pernah diucapkan.
Dan kita menyimpulkan sesuatu yang terdengar meyakinkan: Polisi terlalu bebas.
Tapi, seperti banyak kesimpulan yang datang dari luka, itu mungkin tidak benar. Atau setidaknya—tidak seluruhnya benar.
Sebab bila kita berjalan lebih pelan, dan mendengar lebih lama dari yang biasanya kita lakukan, kita akan menemukan sesuatu yang lebih getir: Polisi bukan terlalu bebas. Polisi justru kehilangan kebebasannya.
Bukan kemerdekaan liar yang harus kita benahi—melainkan ketiadaan ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
Polisi sebagai institusi kehilangan autonomi-nya. Dan inilah akar malapetakanya.
Lembaga yang luas, tetapi kosong
Polri adalah sebuah lembaga yang besar. Terlalu besar, barangkali. Ia punya sayap-sayap yang tak berujung—lalu lintas, reserse, intelijen, keamanan, narkoba, siber, terorisme. Ia menjangkau pelosok. Ia hadir dalam segala musim. Ia bahkan hadir sebelum negara tiba, dan kadang-kadang setelah negara pergi.
Sejak reformasi, Polri dipisahkan dari tentara. Diberi tugas yang berbeda. Diberi struktur nasional yang rinci. Diberi undang-undang yang tebal dan baju yang gagah.
Tetapi struktur, seperti halnya gedung mewah, tak menjamin kehidupan di dalamnya. Sebuah rumah bisa besar, dan tetap kosong di dalamnya. Sebuah lembaga bisa luas, dan tetap kehilangan dirinya.
Dalam dua puluh tahun terakhir—dan terutama dalam sepuluh tahun terakhir—Polri menunjukkan gejala itu: sebuah institusi yang secara formal ada, tetapi secara fungsional goyah. Ada tubuhnya, hilang rohnya. Ada seragamnya, hilang kode etiknya. Ada organisasinya, hilang otonominya.
Polri tampak kuat dalam struktur, tetapi lemah dalam kemampuan menentukan dirinya sendiri.
Di tangan siapa polisi berada?
Dalam politik Indonesia, sering kita dengar sebuah ungkapan yang tampaknya sepele, tapi amat menentukan: “Tidak ada instruksi tertulis… tapi kita mengerti.”
Kata-kata ini — disampaikan setengah berkelakar, setengah berbisik — adalah tanda bahwa keputusan diambil bukan oleh hukum, tapi oleh interpretasi terhadap kekuasaan. Dan bukan hanya polisi; banyak lembaga negara lain hidup di bawah bayang-bayang kalimat itu.
Tapi pada Polri, bayang-bayang itu lebih pekat. Sebab fungsinya sendiri menuntut ia berada di tempat yang gelap—di tengah kekuasaan, di tengah kekerasan, di tengah konflik, di tengah permintaan-permintaan yang tidak selalu jernih.
Ketika di atasnya berdiri seorang presiden yang kuat—atau sebuah koalisi yang menuntut stabilitas—Polri sering menjadi tentakel paling lentur sekaligus paling mematikan.
Kita melihat:
– penanganan kasus yang selektif,
– kriminalisasi yang diarahkan,
– pembiaran yang disengaja,
– penggunaan aparat untuk kepentingan elektoral,
– pemanfaatan intelijen untuk membaca gerakan politik.
Dan kita menyimpulkan: Polisi tak punya batas.
Namun barangkali batas itu sebenarnya telah hilang bukan karena dilebarkan, tapi karena diserahkan. Polri tidak melanggar batas; ia kehilangan kemampuan untuk menegakkan batas itu sendiri.
Ketika kode fungsional runtuh
Polisi seharusnya beroperasi dengan menggunakan logika tunggal: legal / ilegal. Itu saja. Tidak yang lain.
Tapi ketika negara berubah menjadi panggung besar kekuasaan, dan para aktor yang kuat duduk terlalu dekat dengan sumber-sumber pengaruh, kode itu diberi makna baru: sesuai kepentingan / tidak sesuai kepentingan.
Dan ini adalah titik ketika sebuah institusi kehilangan dirinya. Ketika legal–illegal perlahan digeser menjadi loyal–tidak loyal. Ketika penegakan hukum berubah menjadi penegakan arah. Ketika penyelidikan berubah menjadi pengamanan politik.
Sebuah lembaga yang secara resmi “independen” dapat — dalam praktik — hidup dari satu sumber makna: ”sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pusat kekuasaan.*
Inilah yang disebut Niklas Luhmann sebagai over-coupling, penautan berlebihan. Bukan lagi dua sistem yang berdialog, tetapi satu sistem menyerap lainnya. Bukan kerja sama, tetapi penyatuan paksa. Dan dalam penyatuan itu, yang hilang pertama adalah otonomi.
Mengapa reformasi Polri adalah perjuangan memulihkan otonomi
Ketika kita berbicara tentang reformasi Kepolisian, kita sering memikirkan:
– pengetatan pengawasan,
– audit,
– penindakan internal,
– penggantian pimpinan.
Semua itu penting, tetapi semua itu menyentuh kulit, bukan inti. Karena inti masalahnya bukan kegagalan pengawasan, melainkan sesuatu yang lebih mendalam: “Polri tidak mampu memutuskan berdasarkan logikanya sendiri.”
Tugas utama polisi adalah menegakkan hukum. Tapi bagaimana menegakkan hukum jika lembaga itu sendiri tidak lepas dari tekanan politik? Bagaimana berlaku adil jika setiap keputusan harus dibaca ulang dengan satu pertanyaan yang menghantui: “Bagaimana ini akan dilihat oleh kekuasaan?”
Reformasi kepolisian yang sejati bukan memperkecil Polri, tetapi memperkuat kemampuan Polri untuk menolak tekanan kekuasaan. Ini bukan soal melonggarkan kontrol — tapi meluruskan kontrol. Bukan soal memanjakan polisi — tetapi mengakhiri ketergantungan terhadap kekuasaan politik.
Otonomi bukan kebebasan liar. Otonomi adalah kemampuan untuk berdiri tegak dengan kode moralnya — bahwa yang melanggar hukum harus diproses sebagai pelanggaran hukum, tak peduli siapa dia, dan tak peduli apa warna politiknya.
Otonomi adalah syarat integritas. Tanpa itu, setiap reformasi hanya akan menjadi perabot cantik dalam gedung yang rapuh.
Kesimpulan: institusi tanpa jati-diri adalah institusi yang berbahaya
Pada akhirnya, mungkin kita bisa menyimpulkan begini: “Polri bukan terlalu kuat. Polri terlalu kosong. Kosong dari keberanian untuk menegakkan batas. Kosong dari kemampuan untuk mengatakan tidak. Kosong dari jarak yang dibutuhkan untuk menolak cawe-cawe kekuasaan.”
Karena itu reformasi Polri harus dimulai dari satu hal: mengembalikan Polri kepada dirinya sendiri.
Bukan kepada pemerintah, bukan kepada partai, bukan kepada koalisi, bukan kepada presiden mana pun. Tetapi kepada hukum. Kepada kode yang menjadi alasan keberadaannya.
Dan barangkali, di titik itu, kita akan menemukan bahwa tujuan reformasi bukan mengendalikan Polri, melainkan memerdekakan Polri — agar ia tak lagi menjadi alat siapa pun, melainkan menjadi alat kebenaran itu sendiri.===
Cimahi, 16 November 2025

