Governing By Debt
Irawan Santoso Shiddiq
Sepanjang peradaban, era modern inilah tampilan pemerintahan tapi tak berkuasa. Maurizio Larazzato, filosof Italia menukiskan tentang ‘governing by debt.’ Pemerintahan dengan utang. Ian Dallas, ulama besar Skotlandia, menyebutkan, “Belum pernah ada peradaban seburuk saat ini.” Karena model sekarang, kekuasaan sama sekali tak berada pada pemerintahan. “Yang berkuasa bukanlah yang tengah memerintah,” katanya.
Seburuknya Firaun, dia tak berkuasa atas pemerintahannya. Separahnya Jengis Khan, dia memimpin dan berkuasa penuh atas kerajaannya. Pun demikian dengan peradaban kuno lainnya. Mereka yang memerintah, dialah yang berkuasa.
Tapi semenjak modernisme, mencuatnya modern state, merebak fenomena baru. Dan ini baru muncul dalam peradaban sekarang. Pemerintah yang memerintah, tapi tak berkuasa. Karena era modernisme kini, “tak ada satupun state modern yang mampu mengontrol dan mengendalikan uangnya sendiri.” Ini sebuah sisi untuk melihat kekuasaan. Hilaire Beloc, sejarawan Inggris mengatakan, “Siapa yang menguasa harta, dialah yang berkuasa.” Simbolisasi harta adalah uang. Ini parameter kekayaan. Uang, dalam bentuk fiat money maupun digital money, sepenuhnya tak berada dalam kendali pemerintah modern state. Karena kurs uang, sama sekali tak pernah muncul dari ‘markas istana presiden sebuah negara.’ Melainkan ditimbulkan sekelompok orang, diluar entitas ‘state’ itu sendiri. Separahnya Trump, dia sama sekali tak mengontrol US Dollar. Joe Biden, mantan Presiden AS, dalam pidato akhir jabatannya mengatakan, “Amerika Serikat telah dibawah kendali oligarkhi.” Diagnosa ini menjadi indikasi besar. Kehebatan USA bukan pada pemerintahannya. Melainkan pada oligarkhi yang mengatur mereka. Tapi kaum oligarkhi itu tak Bernama. Mereka tak berada dalam parlemen atau eksekutif pemerintahan. Mereka tak tersentuh ‘law enforcement’ sebuah state. Karena mereka sejatinya penguasa, yang mengendalikan pemerintah. Dan inilah diagnosa seantero dunia. Inilah kutukan modernisme.
Sebab ini dilihat 400 tahun belakangan. Karena gejalanya mulai mencuat kala muncul ‘kepercayaan’ baru manusia, untuk meninggalkan ‘Tuhan.’ Inilah pangkal hulu hingga kondisi peradaban modern, lebih buruk ketimbang peradaban kuno. Tapi manusia modern, seolah merasa lebih ‘maju’ ketimbang manusia kuno. Padahal bukan. Modernisme telah membawa bencana kemanusiaan, yang didahului doktrin ‘humanisme.’
Praktek eliminasi Kebenaran Wahyu, menjadi sumber petaka. Oligarkhi bisa berjaya, disebabkan system riba yang dipercaya. Keluh kesah atas kedigdayaan oligarkhi, tak akan berguna jika tanpa memerangi riba. Perang atas riba, berarti kembali pada system yang fitrah. Sistem fitrah, itulah yang merujuk pada Al Quran dan Sunnah. Karena hanya Islam yang kini memiliki system orisinil, yang mampu memerangi atas kebathilan modernisme kini. Shaykh Umar Vadillo, ulama asal Spanyol berkata, “Hanya Islam yang bisa diharapkan untuk memerangi system riba yang berkembang saat ini,” tegasnya.
Dan merebaknya system riba, yang melahirkan kaum oligarkhi berkuasa, dimulai dari pergeseran soal ‘aqidah.’ Inilah yang berlangsung sejak renaissance di Eropa. Karena modernisme, berkembang pasca dua revolusi di Eropa: revolusi politik dalam France revolution, dan revolusi industry di Inggris. Inilah yang menjadi amaliah yang diikuti seantero dunia. Dua revolusi itu, dimulai dari revolusi agama pasca renaissance. Barat menyebutnya sebagai era ‘Pencerahan.’ Yang sejatinya itulah awal menuju kegelapan. Shaykh Abdalhaq Bewley, ulama asal Bradford, Inggris menyebutnya, “Era Kegelapan dalam Pencerahan (The Darkness of the Endlightenment).” Karena memang yang disebut ‘Pencerahan’ itulah muasal petaka modernisme.
Buah dari era ‘Pencerahan’ hanya melahirkan –yang disebut Nietszche—sebagai “God is dead.” Karena memang ‘Pencerahan’ itu bermakna ‘membunuh’ Tuhan dimulai dari alam pikiran manusia. Doktrin itu yang menyusup. Dan sumbernya adalah filsafat. Karena renaissance, era pra ‘Pencerahan,’ pertanda masuknya filsafat ke belantara Nasrani.
Maka, sumber hulu untuk memahami mengapa terjadi ‘pemerintah tanpa berkuasa,’ dilihat dari beberapa episode peristiwa. Shaykh Abdalhaq Bewley menyebutnya, mulai dari renaissance, kemudian ‘pencerahan,’ berlanjut ke revolusi Inggris, hingga memunculkan revolusi Perancis. Lalu berlanjut pada penggulingan Daulah Utsmaniyya dan permusuhan terhadap sufisme, hingga titik akhirnya pada Perang Dunia II. Inilah rangkaian yang membawa petaka pada modernisme, yang melahirkan ‘gouverning by debt’ tadi. Maka hasilnya kita lihat era modern state dimana setiap ‘state’ memiliki utang nasional. Ujungnya rakyat menjadi debitur besar, yang menanggung utang dalam jangka waktu puluhan tahun. Model state modern ini, telah menjadi penjara besar bagi umat manusia. Karena manusia modern, terjebak pada system utang berbunga riba, yang dirancang oleh banking system dan turunannya. Inilah wajah ateisme.
Dari ateisme itulah menyebabkan ‘absolut power’ tak berada pada ‘pemerintah yang tengah memerintah.’ Ian Dallas (Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar asal Skotlandia) menyebutnya sebagai psikosis modern. Karena pondasi keuangan modernisme adalah kapitalisme. Pondasi hukumnya adalah positivism, dan pondasi pola kekuasannya didasari dari ‘politique.’ Dan ini bersumber dari paham sekulerisme. Sekulerisme itu bentuk pemisahan ‘kehendak Tuhan’ dan ‘kehendak manusia.’ Perceraian dua ‘kehendak’ ini dimulai dari sejak renaissance tadi.
Thomas Aquinas, dalam renaissance, mulai memasukkan paham filsafat, yang dipelajarinya di Cordoba. Disanalah pusat pembelajaran filsafat, yang dulunya diadopsi kaum mu’tazilah. Ini era kala ‘filsafat di-Islam-kan.’ Renaissance, itulah masa kala filsafat ‘di-Kristen-kan.’ Ujung dari paham mu’tazilah, berhasil dibendung oleh ulama ahlu sunnah waljamaah. Maka melahirkan puncak peradaban Islam yang megah. Mulai dari Daulah Utsmaniyya, Moghul hingga kesultanan Islam di nusantara. Sementara renaissance, melahirkan ‘Pencerahan’ –sekulerisme– dan kemudian berlanjut pada modernisme.
Doktrin ‘cogito ergo sum’-nya Descates, hingga empirisme Kant, membuat manusia secara resmi mengeliminasi adanya ‘Kebenaran Wahyu.’ Manusia tak lagi percaya ‘being’ adalah ‘Kehendak Tuhan.’ Ditambah akrobat Isaac Newton hingga Einstein, membuat manusia sepenuhnya percaya perihal ‘mekanika kuantum’ alam, yang sepenuhnya terpisah dari ‘Kehendak Tuhan.’
Paham ini yang mereformasi Nasrani hingga menuju Pembaharuan Kristen, yang ditiru pula dalam dunia Islam menjadi ‘Pembaharuan Islam.’ Doktrin ‘pembaharuan’ dua agama ini, menyeret bahwa setiap individu memiliki akses langsung pada Tuhan, tanpa perlu perantara pendeta atau ulama. Ujungnya adalah individualism atas ibadah. Hingga ujung menghilangkan kehidupan berjamaah. Dalam wilayah Nasrani, menurut Shaykh Abdalqadir as sufi, memang didasari dari irasionalitas dalam agama itu. Peristiwa ‘massacre at Paris’ tahun 1572, yang melahirkan fatwa bidat (bid’ah) pada pengikut Protestan, makin memicu gelombang besar penolakan terhadap dogma Roma. Maka disusul mencuatnya Revolusi Inggris, 1668. Inilah ajang awal Kerajaan Inggris keluar dari Liga Imperium Romanum Socrum. Tapi Inggris masih mengatasnamakan ‘kerajaan Tuhan.’ Walau kemudian berubah menjadi monarkhi konstitusional. Disitu pulalah dikenalkan ‘konstitusi’ kali pertama. Absolut power seorang raja, mulai dihilangkan. Karena seiring revolusi, elit bankir Yahudi menyelusup, dengan memasukkan utang riba kepada Raja William Orange. Berdirinya Bank of England sebagai bank nasional pertama di dunia. Bank ini menjadi sentral bank, yang memiliki otoritas tunggal, mencetak uang dan mengatur kendali uang kerajaan Inggris sepenuhnya.
Seabad kemudian, revolusi Perancis, melahirkan prototipe modern state. Napoleon diangkat jadi Kaisar, tapi tak punya kendali uang. Dua revolusi itu, menandai eliminasi atas agama dalam model pemerintahan. Revolusi Perancis, sepenuhnya menyingkirkan Kitab Suci sebagai panduan kenegaraan. Positivisme, menggantikan hukum Gereja. Kapitalisme, disahkan dengan model riba dibolehkan. Utang berbunga, resmi dilegalkan. Manhaj ‘politique’ yang mengusung ‘kehendak manusia’ vis avis ‘kehendak rakyat’ dielu-elukan. Makanya mencuat ‘fraternite,’ (persaudaraan) sesama penganut paham ‘free will.’ Kehendak bebas.
Ini yang ditiru kaum ‘Pembaharu Islam.’ Mereka mendongkel Daulah Utsmaniyya, yang dianggap biang kerok kemunduran Islam. Karena Utsmaniyya dilandasi sufisme, yang menjadi pewaris ajaran Sayidinna Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Atas nama ‘pembaharuan Islam,’ tradisi itu kemudian dicap bid’ah, sama seperti perilaku Gereja Roma atas kaum Protestan. Karena dampak dari fatwa bid’ah, maka memunculkan kesahihan untuk ‘membunuh’ pelakunya. Dalam kejadian pembubaran Daulah Utsmaniyya, menjadi dalil seolah pemerintahan Islam yang sah itu telah menjalani ‘kemusyrikan.’ Hingga layak dibubarkan.
Buah dari ‘pembaharuan Islam’ hanya melahirkan ‘Islamic modern state’ yang merujuk pada modernisme ala barat. Hasilnya hanya menjadi ‘gouverning by debt’ tambahan. Tak lebih. Karena pasca Perang Dunia II, tak ada lagi soverygnty ala Bodin. Karena otoritas ‘state’ sepenuhnya dibawah kendali kaum oligarkhi bankir. Bretton Wood 1946, indikasi tunduknya ‘modern state’ pada bankisme. Merekalah yang berkuasa. Pemerintah menjadi sebatas pembayar utang, dengan bunga. Rakyat menjadi pembayar bunga yang patuh, dengan pajak.
Inilah yang menurut Ian Dallas, sebagai masa ad interim. Karena diagnose ini, jika merujuk pada siklus Polybios, sejarawan Romawi, bukanlah disebut era oligarkhi. Melainkan fase okhlokrasi. Kala kekuasaan berada di tangan kaum perusak. Dalam Hadist, disebut dengan mulkan jabariyyah. Fase selanjutnya akan berubah menjadi monarkhi. Tentu monarkhi yang dimaksud, bukanlah bak tatanan Eropa pra renaissance. Dimana monarkhi dituduh sebagai ‘the king can do no wrong.’ Shaykh Abdalqadir as sufi menyebutkan, monarkhi terbaik adalah Madinah al Munawarah. Tatanan pemerintahan yang dibangun Sayidinna Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Disanalah absolut power berada pada kepemimpinan dan umat yang menyatu.
Karena buah dari ‘pembaharuan agama’ hanya melahirkan nihilisme. Ini konsep turunan dari paham ateisme. Kaum Bankir telah membuat uang dari kertas, tanpa nilai. Kemudian transformasi menjadi byte computer, yang praktis tak ada value. Manusia dipaksa percaya, by positivism. Inilah jebakan ‘free will.’ Karena sejatinya ‘kehendak bebas’ mengarah pada pemaksaan. Persis seperti yang dulu terjadi di era mu’tazilah. Mereka mengusung ‘free will’ (kehendak bebas), yang berujung pemaksaan bahwa harus meyakini Al Quran adalah makhluk. Imam Ahmad bin Hambal teguh melawan. Imam Asy’ari telah membantah dalil itu. Karena dalam sifat 20, Qudrah wal Iradah sepenuhnya mutlak domain Tuhan. “Being” adalah Kehendak Tuhan. Bukan ‘perbuatan manusia.’
Shaykh Abdalqadir al Jilani dalam kitab Al Gunyah berkata, “Mereka yang meyakini adanya dua perbuatan itulah tergolong majusi.” Karena majusi, memisahkan antara pencipta ‘Perbuatan baik’ by Allah, dan ‘perbuatan buruk’ by setan. Inilah yang melahirkan kepercayaan majusi melakukan upacara tolak bala pada api. Karena api symbol setan. Karena setan dianggap sebagai ‘pencipta perbuatan buruk.’
Era modernisme, manusia percaya ‘being’ sepenuhnya ‘kehendak manusia.’ Ujungnya terjadi perbudakan. Karena dengan dalih ‘kehendak manusia,’ mencuat positivism yang melegalkan riba, membolehkan zina dengan dalih kebebasan manusia, sampai manusia dengan kehendaknya mencari kebahagiaan dengan melakukan sifat setan. Mabuk: narkotika, hingga perjudian sebagai pelampiasan. Hasilnya berada pada perbudakan.
Shaykh Abdalqadir as sufi mengatakan, pola banking system bak dalam casino judi. Setiap pemain dijamin akan kalah. Karena pemenangnya hanya bandar. Bandar kasino menyediakan kemewahan, dan otoritas mencetak ‘uang.’ Para modern state itulah pemain dalam kasino banking system. Akan terjerambab dalam kekalahan, tanpa bisa melunasi utang. Begitulah kekejaman system riba. Hingga Allah melaknatnya.
Karena dengan pola riba, melahirkan ‘pemerintah yang tak berkuasa.’ Maknanya, kepemimpinan ada, tapi tak berkuasa. Ini berdampak pada makna ‘Ulil Amri minkum.’ Karena pasca 1924, umat tanpa kepemimpinan yang sahih. Pemimpin, itulah yang berkuasa. Tafsir Imam Qurtubi atas Al Quran Surat an Nisa: 59, telah memberi defenisi perihal tugas Ulil Amri. Merekalah yang memungut Zakat hingga mengotorisasi perihal uang.
Tapi dimulai dari ketaatan bersama. Tauhid. Sebab modernisme telah menggiring manusia tunduk pada system nihilism. Shaykh Abdalqadir as sufi menyebutnya dengan perlunya melahirman nomos baru (new nomos). Ini kumpulan manusia yang memahami kesesatan modernisme dan kembali pada Tauhidullah.
Era Khulafaur Rasyidin ditandai dengan penegakan rukun Zakat. Karena pertanda jamiyyah, diindikasikan pada ketaatan dimana tempat membayar Zakat. Khalifah Sayidinna Abu Bakar Shiddiq tegas dalam pelaksanaan Zakat. Dimensi Zakat inilah yang hilang pasca modern state mencuat. Karena Zakat, melahirkan perputaran harta kaum muslimin. Dari muzzaki kepada mustahik. Zakat dimulai dari ‘new nomos’ yang memiliki kesamaan aqidah tadi. Karena dengan Zakat, memunculkan Jizya, sebuah kosakata dan amalan yang hilang pasca dibubarkannya Daulah Utsmaniyya. Tanpa jizya, kaum kuffar menjajah muslimin. Tegaknya jizya, itulah pertanda kemenangan Islam. Tegaknya jizya, itulah kembalinya absolut power. Pemerintahan yang sejatinya berkuasa. Ini yang tengah dijalankan kaum muslimin di Barat kini. Karena mereka telah menyadari jebakan nihilisme.

