Skandal Dugaan Korupsi KA cepat

October 23, 2025

UANG NEGARA BUKAN UNTUK BAYAR UTANG NAJIS!

Marwan Batubara, Petisi-100

Gonjang-ganjing utang KA Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) terus bergulir. Selain isu korupsi, salah satu isu utama, siapa penanggung utang jumbo proyek mercusuar KCJB: APBN, Danantaraa atau BUMN. Menkeu Purbaya telah menolak penggunaan APBN. Bos Danantara, Rosan Roeslani berharap utang ini ditanggung APBN. Sikap kami, karena sarat dugaan KKN, maka negara, baik APBN, Danantara atau BUMN harus bebas dari beban utang tsb!

Dalam KCJB, KAI berperan sebagai pemimpin perusahaan konsorsium Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI, konsorsium KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga dan Perkebunan Nusantara). PSBI pemegang saham mayoritas Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebesar 60%. Sedang sisa saham 40% KCIC dikuasai RRT, melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd. Dana investasi KCJB berasal dari RRT (China Development Bank, CDB) sebesar US$ 7,27 miliar.

Sejak awal proyek KCJB memang mengidap berbagai moral hazard dan masalah hukum. Terungkap, mantan Presiden Jokowi memang sangat dominan dan otoriter memaksakan terlaksananya proyek. Pendapat menteri-menteri terkait tidak digubris. Yang berbeda pendapat dipecat, seperti dialami Menhub Ignatius Jonan. DPR dipaksa atau terpaksa menyetujui, mungkin ada yang bersekongkol atau tersandera. Konstitusi, sejumlah peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, pun telah dilanggar.

*Pertama,* RRT sebagai pemberi pinjaman telah diberi jaminan dan alokasi pembagian risiko oleh pemerintah. Hal ini tak sesuai dengan komitmen awal RRT yang tidak memasukkan jaminan pemerintah dalam kesepakatan. Pemberian jaminan ini melanggar Perpres No. 107/2015. *Kedua*, RRC meminta hak ekslusif atau monopoli jalur KCJB, dan hal ini melanggar prinsip non-ekslusif, UU Perkeretaapian No.23/2007 dan UU Monopoli No.5/1999.

*Ketiga*, proyek KCJB dipaksakan groundebreaking walaupun dokumen perizinan belum lengkap. Hal ini melanggar Pasal 188 UU No.23/2007. *Keempat*, terjadi persekongkolan jahat proses tender yang melibatkan perusahaan RRT, CRRC Sifang Indonesia. Hal ini melanggar Pasal 22 UU No.5/1999 tentang Monopoli & Persaingan Usaha Tidak Sehat.

*Kelima,* Jokowi berjanji pelaksanaan proyek KCJB tidak menggunakan APBN, tapi melalui skema business to business oleh BUMN (12/9/2015). Namun pada praktiknya, Jokowi ingkar janji, memaksa penyuntikan APBN Rp4.1 triliun melalui PMN pada KAI, tanpa peduli peran dan persetujuan DPR (3/8/2022).

*Keenam*, undangan tender KCJB pada Jepang dianggap formalitas dan manipulatif guna memenuhi syarat proses pengadaan. “Tim Tender” Indonesia “memilih” RRT (penawaran US$ 5,5 miliar) dibanding Jepang (US$ 6,2 miliar). Namun setelah itu, “Tim Tender” Indonesia malah mengatrol tawaran RRC mendekati tawaran Jepang, dari US$ 5,5 miliar menjadi US$ 6,02 miliar. Diduga tujuannya guna mendapat “ruang nilai” korupsi lebih besar.

*Ketujuh*, proses evaluasi tender dilakukan secara manipulatif: sengaja menyembunyikan beban bunga yang ditawarkan. Seharusnya, guna mendapatkan nilai penawaran bersifat “apple to apple”, yang diperbandingkan adalah biaya pokok ditambah beban bunga. Ternyata, “Tim Tender” Indonesia secara sengaja hanya mebandingkan nilai proyek, tanpa beban bunga. Padahal jika beban bunga diperhitungkan, the bottom-line, nilai penawaran Jepang lebih murah (US$ 6,25 miliar) dibanding penawaran RRC (US$ 6,92 miliar). Dalam hal ini, jelas, “Tim Tender” Indonesia melakukan pelanggaran pidana sangat fatal dan vulgar!

*Kedelapan*, dengan membandingkan harga rerata biaya pembangunan proyek-proyek KA Cepat di dunia atau di RRC, diyakini telah terjadi praktik mark-up sangat besar pada proyek KCJB. Hal ini dapat dikonfirmasi pada pendapat dan tulisan ekonom PEPS, sahabat Anthony Budiawan. Rerata biaya proyek KA Cepat di China berkisar US$ 17 juta hingga US$ 30 juta per km. Ternyata untuk proyek KCJB dengan panjang lintasan 142 km, biaya per km-nya adalah (US$ 6,92 miliar/142 km) = US$ 48,73 juta/km.

Saat RDP dengan Komisi VI DPR tahun 2021 yang lalu, Direktur Keuangaa KAI Salusra Wijaya menyatakan biaya proyek KCJB adalah US$ 8 miliar (1/9/2021). Dengan demikian, sebenarnya biaya investasi lintasan rel dan rangkaian Electric Multiple Unit (EMU) proyek KCJB jauh lebih mahal dari rerata global: (US$8 miliar/142 km) = US$ 56 juta per km.

Dengan kondisi politik dan “praktik bisnis” di Indonesia, mungkin bisa dimaklumi jika biaya KCJB lebih mahal 20 hingga 30% terhadap rerata biaya global. Namun jika kenaikan biaya tersebut mencapai 2 hingga 3 kali lipat, maka kita haqqul yakin terjadi kejahatan sistemik yang mengusik akal sehat dan mengundang kemarahan! Diyakini proyek KCJB telah menjadi objek korupsi yang melibatkan pihak-pihak Indonesia, RRT dan swasta terkait. Mereka harus diadili. Namun biang utama kejahatan KKN sistemik ini ditengarai adalah Presiden Jokowi!

Kita mencatat banyak proyek-proyek pemerintah Era Jokowi lebih bernuansa “mercusuar dan pencitraan”, atau sekedar “nice to have”, dibanding benar-benar dibutuhkan negara dan publik. Hal ini berlaku pula untuk proyek KCJB. Namun, di balik sifat dan motif non-esensial tersebut, sebenarnya “tersimpan” motif perburuan rente melalui mark-up dan KKN pada saat pengadaan dan pembangunan proyek. Motto rezim ini diyakini: makin banyak dan besar nilai proyek yang dibangun, maka semakin besar pula rente yang bisa dinikmati.

*Odious Debt, Utang Najis!*

Uraian di atas secara gamblang menampilkan “sebagian fakta” pelanggaran hukum dan nilai jumbo uang negara yang dikorupsi. Modus, skala dan pelaku skandal dugaan korupsi ini melibatkan aktor-aktor NKRI dan RRT, serta sejumlah aktor sektor swasta. Dengan demikian, proyek KCJB sangat layak diproses hukum dan utang yang timbul akibat proyek layak pula dikategorikan sebagai Odious Debt atau UTANG NAJIS!

Praktik KKN yang menimbulkan atau menyisakan utang najis dari pemerintahan terdahulu (previous) kepada pemerintahan penerus (successor) telah banyak banyak terjadi di berbagai negara. Umumnya di negara-negara tersebut, pemeritah penerus menolak melunasi. NKRI harus juga menolak. Warisan utang Jokowi ke Prabowo Rp 8.502,69 triliun (18/9/2024). Diperkirakan sebagian utang warisan Jokowi berstatus utang najis. Salah satunya utang proyek KCJB yang atas dasar alasan moral dan hukum, tidak harus dibayar pemerintahan Prabowo!

*Ragam Sikap “Pejabat Negara”*

Sikap sejumlah menteri terkait atas isu utang KCJB cukup beragam. Ada yang pro Jokowi & RRT dan ada pula yang objektif atau hati-hati. Namun tidak satu pun yang mempersoalkan dugaan KKN atau korupsi besar proyek KCJB. Mereka lebih fokus pada objek: utang tersebut cukup besar, maka siapa dan bagaimana membayarnya, lewat APBN atau Danantara atau BUMN. Mereka tidak peduli bahwa uang negara dan rakyat sudah dikorupsi, dan merasa tidak perlu pula membidik koruptornya!

Menkeu Purbaya memang menolak pembayaran utang proyek KCJB (10/10/2025). CEO Danantara Rosan Roeslani mengaku secara internal masih mengevaluasi dan belum membahas solusinya dengan Kemkeu (14/10/2025). Sedangkan COO Danantara Dony Oskaria antara lain meminta pemerintah, melalui APBN, menambah modal KAI/PSBI (22/10/2025).

Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut (LBP) ikut bersuara tentang utang KCIC yang diperkirakan harus dibayar Rp 2 trilun setahun selama 40 tahun tersebut. Luhut yang awalnya menyoal sikap Menkeu Purbaya, belakangan bilang bahwa proyek KCJB memang barang busuk yang sarat masalah (19/10/2025). Padahal dulunya Luhut adalah pejabat yang ditunjuk Jokowi menjadi Ketua Komite proyek KCJB melalui Perpres No.93/2021.

Kalau memang barang busuk, kenapa dulu tidak dipermasalahkan, ditolak atau diperbaiki? Kenapa pula masih terjadi pembengkakan dan mark-up biaya proyek, padahal Luhut sudah jadi ketua? Jangan-jangan tangan Luhut ikut berlumuran lumpur mark-up, modus korupsi proyek KCJB. Kita tidak yakin kalau selama menjabat sebagai ketua, Luhut hanya mengawasi sesuai prinsip-prinsip good governance. Melainkan, justru Luhut ditengarai bekerjasama erat dengan Jokowi dalam “menjalankan” proyek KCJB dalam rangka perburuan rente.

Kita tidak berspekulasi tentang kuatnya peran Jokowi & Luhut sebagai subjek sentral skandal KCJB. Ini soal keyakinan, terutama setelah mengevaluasi berbagai fakta bernuansa KKN atas sejumlah kebijakan dan program kedua pejabat ini selama berkuasa. Bahkan melihat fenomena pemberantasan korupsi setahun pemerintahan Prabowo, yang dinilai tidak signifikan dan belum sepenuhnya menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar, maka saat ini Jokowi dan Luhut sebenarnya “terasa” masih berkuasa!

Kita belum mendengar sikap Prabowo atas skandal KCJB ini. Mungkin sikap Prabowo tercermin pada sikap Menkeu Purbaya atau Bos Danantara, Rosan. Rosan yang juga Menives menyatakan terus mencari reformasi utang secara komprehensif (14/10/2025). Namun, tiba-tiba Luhut membuat pernyataan bahwa penyelesaian utang KCJB dengan RRT sudah tercapai. Caranya melalui restrukturisasi, yakni waktu pembayaran utang akan diperpanjang hingga 60 tahun (21/10/2025).

Tidak jelas apakah pernyataan Luhut ini merupakan hasil rapat komprehensif lintas kementrian dan lembaga terkait seperti diungkap Rosan. Kita pun belum yakin jika skema restrukturisasi ini disetujui Presiden Prabowo. Yang pasti, Luhut sedemikian aktif “beraksi”, menihilkan peran Kemenko Perekonomian, Meninves, Menkeu, dll. Bahkan bisa saja Presiden Prabowo pun “terpaksa’ menerima solusi Luhut, yang terkesan juga “bekerja” mewakili RRT, sekaligus untuk mengamankan Jokowi.

Padahal, masalah moral hazard dan hukum dugaan korupsi proyek KCJB lah yang harus diprioritaskan. Negara dan rakyat tidak harus menanggung utang hingga 60 tahun, dimana sebagian utang tersebut terjadi dan dinikmati para koruptor yang justru masih gentayangan. Bahkan sebagian mereka duduk di Kabinet Merah Putih dan justru bekerja “mencari solusi” menyelamatkan para terduga koruptor, termasuk sang master mind, pemburu posisi 3 periode.

*Tuntutan Rakyat*

Berdasar uraian di atas, dengan ini kami menyatakan hal-hal berikut. *Pertama,* menolak dengan tegas solusi restrukturisasi utang najis skandal KCJB yang diusulkan Luhut (juga disetujui Prabowo?). *Kedua,* karena melibatkan pejabat-pejabat NKRI dan RRT, solusi masalah hutang hanya dapat dieksekusi setelah proses hukum dituntaskan. *Ketiga,* agar proses hukum terlaksana, KPK dituntut segera mengusut tuntas skandal dugaan korupsi proyek KCJB. *Keempat*, pada saat bersamaan, DPR dituntut untuk membentuk Pansus Skandal KCJB, dimana dengan pansus ini DPR dapat membongkar berbagai kejahatan sistemik skandal KCJB, dan meminta BKP melakukan audit investigatif. *Kelima*, mengajak seluruh rakyat menolak rencana rstrukturisasi utang KCJB dan mengadvokasi ketiga tuntutan di atas.

Disadari, para komisioner KPK yang menjabat saat ini dipilih dan diangkat rezim Jokowi secara melanggar hukum. Tampaknya sebagian dari komisioner masih bekerja untuk atau di bawah kendali Jokowi. Maka tak heran jika KPK meminta publik atau Mahfud MD melaporkan skandal dugaan korupsi proyek KCJB jika memiliki bukti. Padahal, sesuai UU dan amanat rakyat, mereka seharusnya bekerja proaktif tanpa menunggu laporan publik! Prabowo perlu segera mengganti para komisioner KPK ini!

Terkait pembentukan pansus di DPR, kita menuntut semua partai parlemen segera menggulirkan usul ini. Sesuai Misi ke-7 Asta Cita, Presiden Prabowo yang sudah bertekad mengejar koruptor hingga ke Antartika, sangat relevan dan dituntut memerintahkan Fraksi Gerindra DPR menjadi inisiator pembentukan pansus. Hal ini sekaligus mencerminkan bahwa Prabowo tidak bekerja di bawah kendali Jokowi atau Gank Solo, dan tidak sekedar omon-omon memberantas korupsi, tetapi nihil prestasi. Seluruh rakyat seharusnya tidak menjadi pecundang: menjadi penanggung beban utang nasjis peninggalan Rezim Jokowi.[]

Jakarta, 22 Oktober 2025

Skandal Dugaan Korupsi KA cepat

UANG NEGARA BUKAN UNTUK BAYAR UTANG NAJIS! Marwan Batubara, Petisi-100 Gonjang-ganjing utang KA Cepat Jakarta-Bandung