Menangkal Ancaman Neokomunis Dalam Perspektif Geoekononi dan Geopolitik Global, dan Dampaknya bagi Keutuhan NKRI

October 2, 2025

Partaimasyumi.id-Pengamat Geopolitik Hendrajit hadir sebagai pembicara dalam diskusi publik bertajuk “Menangkal Ancaman Neokomunis Dalam Perspektif Geoekononi dan Geopolitik Global, dan Dampaknya bagi Keutuhan NKRI”  yang iselenggarakan oleh DPP Partai Masyumi. Selasa 30 September 2025.

Sebagai Narasumber yang hadir yakni Selamat Ginting, Hendrajit dan Alfian Tanjung dan Abdullah Hehamahua. Dihadiri Ahmad Yani Ketua Partai Masyumi sebagai tuan rumah

Pengamat Geopolitik Hendrajit menyampaikan dalam membahas komunisme baik komunisme klasik maupun neokomunisme seperti tema yang diusung Masyumi ini sebagai pokok bahasan, harus ditelaah dalam satu tarikan nafas dengan dua isu sentral lainnya. Kolonialisme dan Nasionalisme. Dalam perspektif geopolitik Indonesia, adalah tidak membumi jika menelaah komunisme dengan mengabaikan kolonialisme dan nasionalisme.

Hendrajit menjelaskan sebagai bangsa yang dijajah Belanda 350 tahun, pada awal abad ke-20 para perintis kemerdekaan mulai menyadari bahwa melekat dalam watak kolonialisme dan imperialisme Belanda adalah ideologi kapitalisme yang jadi induk dan sumber motivasi negara negara seperti Inggris, Prancis dan Belanda, untuk memperluas wilayah kekuasaannya di luar eropa, agar kapitalisme yang dalam dirinya rawan untuk mengalami krisis dan keruntuhan, bisa diselamatkan berkat kolonialisme dan imperialisme.

Inilah hal penting yang justru luput dari kajian Karl Marx dalam bukunya, Das Kapital. Lanjutnya yakni: Pertama, Marx hanya fokus pada keniscayaan kehancuran kapitalisme di Eropa, seraya bangkitnya kaum proletar sebagai kekuatan politik baru di pasca kapitalialsme. Sehingga dalam kajian yang mana Das Kapital  terbit pada 1867, Marx sama sekali tidak menelaah masalah-masalah penjajahan negara-negara eropa di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin.

Hal ini sebenarnya amat mengherankan. Kedua, oleh sebab Marx abai membahas isu kolonialisme dalam salah satu pokok bahasannya, para pemikir ekonomi politik pengikut penerus mahzab Marxisme, mulai dari spektrum sosialisme demokrasi, sosialisme kiri hingga komunisme pada titik ekstremnya, punya kecenderungan kuat yang sama yaitu mengabaikan pentingnya nasionalisme dan gerakan nasional  yang dimotori oleh berbagai komponen bangsa di Asia, Afrika dan Timur Tengah, berjuang merebut kemerdekaan dari belenggu penjajahan.

“Padahal dalam kasus Indonesia gerakan nasional kemerdekaan seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Kelompok Studi Indonesia Surabaya yang dimotori Dr Sutomo atau Kelompok Studi Umum yang dimotori Ir Sukarno di Bandung, dan Perhimpunan Indonesia yang dimotori Mohammad Hatta di Belanda, sejatinya dijiwai oleh nasionalisme dan pemikiran sosialisme yang kuat sebagai kode/paham moral dalam melawan kolonialisme dan imperialisme,” kata Hendrajit.

Lantas bagaimana menyelisik hadirnya komunisme dan PKI dalam kancah pergerakan nasional Indonesia melawan penjajahan? Asal usul adanya komunisme di Indonesia sudah runyam dan ribet dari awal.

Hendrajit menilai ada dua hal yang membuat kehadiran Komunisme di Indonesia menjadi rumit, yakni:

Pertama, kedatangan Humbertus Josephus Sneevlet di Indonesia pada 1913, bukan sebagai kader komunis. Melainkan sebagai unsur sayap kiri dari Partai Sosial Demokrat Belanda yang tersingkir dari pentas politik. Kedua, fakta bahwa ia adalah kader partai sosdem, ketika pada 1914 mulai mengkader orang orang Indonesia seperti Darsono, Semaun dan Alimin, praktis mendoktrin mereka menurut cara pandang Sneevlet sebagai orang Belanda/Eropa maupun sosdem, yang di alam bawah sadarnya mengabaikan nasionalisme dan perspektif Geopolitik Indonesia. Alhasil, dalam kesejarahannya seperti pemberontakan PKI 1926, 1948 dan 1965, bukan saja gagal total lantaran tidak membumi, bahkan membahayakan komponen-:komponen  nasional lainnya yang pernah berkolaborasi dengan PKI, oleh sebab Belanda kemudian menganggap yang melawan pemerintah kolonial sebagai komunis. Misalnya Bung Karno dan Bung Hatta, sehingga kedua tokoh sentral pergerakan nasional itu di buang ke luar Jawa.

“Bagaimana menelaah Neokomunisme di era sekarang, ketika PKI sendiri sebagai organ maupun jaringan sudah hilang dari peredaran? Begini ya. Saat ini di era Pasca Perang Dingin, komunisme sebagai gagasan alternatif terhadap komunisme sudah bangkrut dan tidak laku lagi,” jelas Hendrajit.

“Lha wong Uni Soviet saja sebagai pusat kekuatan komunis sudah bubar sebagai negara. Lantas kalau begitu, ideologi baru macam apa yang sekarang ini dominan dan berkuasa? Neoliberalisme yang bertumpu pada gagasan pokok bahwa Pasca Bebas pada implikasinya harus menghilangkan peran negara baik dalam mengatur urusan politik, ekonomi dan sosial-budaya,” tukasnya.

Bahkan lanjutnya, juga militer dengan maraknya perusahaan perusahaan berskala internasional dalam bidang jasa keamanan negara termasuk tentara bayaran. Seperti ulah Blackwater dalam invasi militer AS di Afghanistan 2001 dan Irak 2003.

“Watak ekspansif dari Skema Neoliberalisme yang agenda utamanya adalah mengekspor skema ekonomi pasar bebas, perdagangan bebas dan swastanisasi perusahaan milik negara, pada hakekatnya bersifat trans-nasional,” tekan Hendrajit

“Jadi sejak era pasca Suharto 1998, ancaman strategis nasional kita bukan Neokomunisme melainkan Neoliberalisme yang mana tujuan strategisnya adalah menswastakan negara hingga ke hal-hal vital yang melekat dengan kedaulatan nasional kita seperti perbankan, minyak dan gas bumi, kelistrikan, bahkan saat juga mulai menjamah sektor pertanahan dan pertanian, serta pendidikan,” bebernya.

Lantas Hendrajit dalam pengamatannya apa yang disampaikan Alfian Tanjung perlunya telaah sebab pasca Soeharto tidak ada kontra skema untuk membangun Indonesia.

“Beberapa modus operandi dalam kerangka Perang Senyap Neokomunisme yang disampaikan salah satu narasumber, kawan saya saudara Alfian Tanjung, saya kira cukup menarik juga. Namun perlu telaah mendalam. Mengingat seperti kata saya tadi, sejak pasca Suharto, para eksponen reformasi 1998-1999 tidak punya kontra skema untuk membangun Indonesia pasca Suharto,” urai Hendrajit.

Kemudian lanjut Hendrajit, di sinilah skema neoliberalisme dan kapitalisme global berbasis korporasi, berhasil melancarkan perang nir-militer mengubah sistem politik era Suharto menjadi demokrasi parlementer multi-partai, namun dipandu oleh skema dan strategi nasional yang tidak pro rakyat. Sehingga dalam pembentukan  konfigurasi dan formasi politik nasional, sistem politik merekrut para kader legislatif dan eksekutif yang pro korporasi asing dan konglomerasi lokal sehingga dari kawin mawin inilah lahirlah anak kandungnya, Oligarki.

“Skema Neoliberal inilah yang menurut saya merupakan ancaman nasional kita. Karena korporasi asing sekarang  bukan cuma kelompok penekan tapi sudah menegara, korporasi sejak awal 1980an, sudah terlibat dalam proses politik di negara ia mengoperasikan bisnisnya, maupun di luar negeri,” ungkapnya.

“Dan saat Suharto lengser, 1998, Neoliberalisme sedang mencapai puncak kejayaannya. Tren global inilah yang luput dari amatan para elit politik kita pasca reformasi,” tandasnya. (Ys)