Mempraktekkan Pancasila
Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts
Lima sila sebagai dasar negara Republik ini sebagaimana dirumuskan para ulama dan cendekiawan pendiri bangsa dalam paragraf 4 Pembukaan UUD 18/8/1945 makin menunjukkan relevansinya dalam mengatasi Paradoks Indonesia seperti yg dicermati presiden Prabowo sejak memutuskan memasuki gelanggang politik nasional dengan mendirikan Gerindra. Prabowo tahu paradoks pertama : paradoks itu berakar dari parpol yg ujug2 muncul di batang tubuh UUD 10/8/2002 out of nowhere. Monopoli politik oleh partai politik telah membuat jagad politik Republik ini dipenuhi oleh para bandit, badut dan bandar politik yang suka ngglembuk, nggendham, lalu nyopet politik rakyat.
Berbagai maladministrasi publik terjadi di mana banyak regulasi dan perundang-undangan dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan selingkuh para bandit, badut, dan bandar politik. Maladministrasi ini diikuti dengan malpraktek elite yg koruptif, hedon, culas, licik, dan angkuh. Monopoli politik oleh parpol ini selanjutnya memanfaatkan polisi sebagai instrumen kekerasan untuk melestarikan status quo yg makin pengap dan menyesakkan dada. Selanjutnya a too-powerful police secara cepat menjadi Parcok yg tidak lagi melindungi, apalagi mengayomi masyarakat.
Baik parpol maupun parcok harus segera direformasi. Parpol tidak boleh lagi memonopoli polity as public goods. Polisi juga tidak boleh memonopoli ketertiban dan keamanan sebagai barang publik. Jangan sampai parpol makin banyak tapi kebajikan publik makiin langka. Jangan sampai polisi makin dipersenjatai dan kantornya di mana-mana, tapi perlindungan dan pengayoman makin sulit ditemui wong cilik. Monopoli parpol dan parcok pendukung oligarki ini merupakan pliket UUD 10/8/2002 paling sulit yang dihadapi presiden Prabowo saat ini.
Spiral negatif paradoks Indonesia ini harus dihentikan dengan kembali ke 5 dasar negara Republik ini, yaitu 1) Ketuhanan yang Maha Esa, bukan Keuangan yg maha kuasa, 2) kemanusiaan yg adil dan beradab, bukan kemanusiaan yg timpang dan biadab, 3) persatuan Indonesia, bukan keterbelahan Indonesia, 4) kerakyatan yg dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, bukan kekuasaan yg dipimpin oleh syahwat kejahiliyahan dan popularitas tanpa integritas, serta 5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan ketimpangan sosial di mana-mana.
Saat dunia makin bergeser ke Asia, dan Barat sedang kehilangan kepemimpinan moral serta mengalami kekeringan imajinasi, kita perlu membantu Presiden Prabowo untuk mempraktekkan Pancasila untuk menyelesaikan paradoks Indonesia itu sebagai amanah UUD 18/8/1945. Kesaktian Pancasila wujud dalam prakteknya, bukan di omon-omon.
● KA Argo Bromo Anggrek. 1 Oktober 2025.