Jalan Keselamatan: Sebuah Renungan tentang Keterbukaan Hati dan Pikiran dalam Mencari Kebenaran
Oleh: Agus Abubakar Arsal Alhabsyi
Dalam kehidupan yang penuh dengan kebisingan informasi dan berbagai klaim kebenaran, manusia seringkali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: bagaimana menemukan jalan yang lurus dan menyelamatkan? Agama Islam, melalui petunjuk Al-Qur’an, tidak hanya memberikan jawaban final, tetapi juga menjelaskan metodologi pencarian itu sendiri.
Ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan jelas menggarisbawahi bahwa keselamatan bukanlah monopoli kelompok tertentu, melainkan sebuah janji bagi siapa saja yang bersikap benar dalam proses pencariannya.
Esai singkat ini akan membahas bagaimana prinsip keterbukaan, keinginan untuk mendengar, dan sikap kritis merupakan kunci utama untuk meraih petunjuk Ilahi.
Gambaran tentang siapa yang pantas menerima azab neraka diungkapkan secara tegas dalam Surat Al-Mulk ayat 10:
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (informasi itu), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala’.”
Ayat ini mengisyaratkan sebuah penyesalan yang datang terlambat. Penyebab kehancuran mereka bukan semata-mata karena kekafiran, tetapi lebih pada sikap ingkar dan menutup diri (summun, bukmun wa umyun). Mereka menutup telinga dari kebenaran dan membutakan mata hati dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Inilah dosa fundamental: penolakan untuk mendengar dan merenung. Dengan kata lain, neraka adalah konsekuensi logis dari sebuah hati yang terkunci rapat.
Sebaliknya, Allah SWT menjamin keselamatan bagi siapa pun yang memiliki kemauan untuk mencari. Dalam Surat Al-‘Ankabut ayat 69, Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari kebenaran) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
Kata kunci di sini adalah “jihad” atau bersungguh-sungguh. Jihad di sini adalah jihad intelektual (ijtihad) dan spiritual (mujahadah)—usaha keras untuk mencari, mempelajari, dan memahami. Janji Allah sangat jelas: kesungguhan dalam mencari kebenaran, apapun latar belakang awalnya, akan dibalas dengan petunjuk menuju “jalan-jalan-Nya” yang beragam dan penuh hikmah. Banyak jalan menuju Allah.
Selanjutnya, Allah menyampaikan kabar gembira yang sangat menghibur dalam Surat Az-Zumar ayat 17-18:
“Maka sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (ulil albab).”
Ayat ini memperjelas profil pencari kebenaran sejati. Prosesnya dimulai dari kemauan “mendengarkan” (yastami’unal qaul). Ini adalah sikap rendah hati, mengakui bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja.
Namun, berhenti pada mendengar saja tidak cukup. Seorang pencari sejati harus “mengikuti yang terbaik” (yattabi’una ahsanah). Inilah puncak dari proses kritis. Setelah mendengar berbagai pendapat, argumentasi, dan dalil, seseorang harus mampu melakukan filtrasi secara cerdas dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani yang jernih untuk memilih mana yang paling benar, paling logis, dan paling baik. Kelompok inilah yang disebut Ulil Albab—mereka yang menggunakan akal pikirannya secara mendalam dan menyatukannya dengan ketundukan hati.
Walhasil, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sangat menghargai akal dan proses intelektual. Jaminan keselamatan tidak diberikan kepada mereka yang hanya sekadar mengaku-aku atau mengklaim kebenaran, tetapi kepada mereka yang bersikap aktif, kritis, dan terbuka dalam perjalanan spiritualnya. Neraka diperuntukkan bagi mereka yang pasif, menutup diri, dan enggan menggunakan karunia akal yang telah Allah berikan.
Dalam konteks kekinian, pesan ini sangat relevan. Di tengah maraknya fanatisme buta dan “echo chamber” di media sosial yang membuat orang hanya mendengar suara yang sama, Al-Qur’an justru mengajak kita untuk keluar dari zona nyaman.
Mari menjadi hamba yang selalu mau “mendengarkan perkataan,” kemudian dengan bijak “memilih yang terbaik.” Sebab, pada akhirnya, petunjuk Allah hanya akan datang kepada hati yang terbuka dan pikiran yang kritis—syarat mutlak untuk menjadi insan yang diselamatkan.
Bekasi, 160925

