Partaimasyumi.id_Sudah terlalu lama bangsa ini terbiasa menutupi persoalan substansial dengan bantuan simbolik. Sembako dibagikan saat rakyat menjerit, ibarat obat pereda sakit kepala yang hanya menenangkan sebentar, sementara penyakit utama tetap menggerogoti. Rakyat tidak butuh belas kasihan instan, melainkan pekerjaan dan penghasilan yang membuat mereka mandiri.
Selama hampir satu dekade, kesenjangan makin terasa. Ekonomi melemah, lapangan kerja minim, sementara pejabat korupsi dan hukum tumpul. Kondisi ini ibarat bara dalam sekam. Jika terus diabaikan, ledakan sosial bukan mustahil terjadi, seperti amuk massa besar di Nepal baru-baru ini, dimana PM Nepal dihakimi, Polisi ditahan oleh massa, kemudian di Tunisia pada 2010 rakyat kecil yang frustasi lampiaskan kemarahan besar yang melahirkan gelombang revolusi Arab Spring yang meruntuhkan rezim dan menyeret beberapa negara ke konflik berkepanjangan.
Di titik inilah strategi Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru saja menggantikan Sri Mulyani atas hak prerogatif Presiden Prabowo, terasa relevan dan berani. Ia memilih langkah berbeda, akan mengalirkan Rp. 440 triliun uang negara yang selama ini mangkrak di Bank Indonesia ke masyarakat, dengan Rp. 200 triliun di antaranya akan disalurkan melalui bank-bank pemerintah dalam bentuk kredit produktif maupun dukungan langsung. Strategi ini diyakini dapat menggerakkan mesin ekonomi nyata di tingkat bawah.
Lebih dari itu, saya menilai ini sinyal positif bahwa dalam forum Great Lecture ini sekaligus memberi legitimasi sosial-politik bagi langkah Purboyo. Ia tidak berdiri sendirian sebagai teknokrat, tetapi ia menempatkan dirinya dalam barisan yang mau mendengar suara rakyat melalui para tokoh gerakan yang konsisten memperjuangkan kepentingan publik. Dukungan moral dari forum ini memberi bobot tambahan bahwa kebijakan yang ditempuh Purboyo bukan sekadar kebijakan elit, melainkan kebijakan yang mendapat pengawalan dari kekuatan sosial yang nyata. Inilah perbedaan mendasar dengan pendekatan lama yang kerap gagal karena kehilangan legitimasi rakyat. Jelas ini bukti kuat Purboyo sosok menteri keuangan yang terbuka dan berfikir logis, ibarat flowchart pragraming, meminjam istilah aktivis senior senior ITB, Bang Ucok Aswin Lubis.
Tetapi, ada batu sandungan besar yang tidak bisa diabaikan: mental birokrasi. Uang sebesar itu akan menjadi santapan empuk bagi pejabat bermental maling jika tidak dikawal ketat. Kita sudah terlalu sering menyaksikan kebijakan baik terjerembab dalam lumpur korupsi, mulai dari proyek infrastruktur, bansos, hingga dana hibah daerah. Jika strategi Purboyo hanya berhenti pada level kebijakan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, maka hasilnya tak akan berbeda jauh: uang kembali hilang di tengah jalan, rakyat hanya mendapat remah, dan krisis kepercayaan semakin dalam.
Purboyo tampaknya sadar betul bahwa persoalan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara lama. Tantangan terbesarnya bukan hanya bagaimana menggerakkan uang yang tidur, melainkan bagaimana melawan kultur birokrasi yang rakus dan hukum yang lemah. Jika langkah ini berhasil, ia bukan hanya menyelamatkan ekonomi, tapi juga meredam potensi gejolak sosial yang bisa menjelma menjadi konflik besar, sebagaimana pernah meluluhlantakkan Tunisia, Mesir, atau bahkan Indonesia sendiri pada 1998.
Jika konsistensi dijaga dan pengawasan melibatkan kekuatan sosial, maka apa yang hari ini tampak sebagai eksperimen kedepannya bisa dikenang sebagai titik balik bangsa dalam mewujudkan janji kesejahteraan yang selama ini belum maksimal terwujud.
Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Kalibata, Jaksel, Jumat 12 September 2025, 21.45 Wib.

