Barang Impor Makin Murah, Tapi Rakyat Tetap Miskin: Ada yang Salah dengan Ekonomi Kita
Oleh: M Sunu Probo Baskoro
Harga Impor Turun, Tapi Daya Beli Rakyat Tak Bergerak
Pemerintah gemar mengumumkan penurunan tarif impor untuk barang berteknologi tinggi dari Amerika Serikat—mulai dari laptop, smartphone, perangkat lunak, hingga mesin industri. Memang, tarif impor produk AS menurun signifikan antara 2010 dan 2021 (indeks tarif turun dari 100 ke 74). Namun, data terkini memberi gambaran sebaliknya: indeks harga impor (IHM) umum justru naik sebesar 0,11 % kuartal II-2025 dari kuartal sebelumnya, dan 4,30 % dibanding kuartal II-2024 Badan Pusat Statistik Indonesia. Artinya, harga barang impor di pasaran tidak semurah narasi pemerintah.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga per kapita (proxy daya beli) juga belum menunjukkan lonjakan signifikan. Data CEIC mencatat pengeluaran rumah tangga per kapita sebesar USD 1.072,97 pada 2022, naik tipis menjadi USD 1.143,44 pada 2023 CEIC Data. Kenaikan ini hanya sekitar 6,6 % dari tahun ke tahun—kecil jika dibandingkan inflasi dan kenaikan biaya hidup.
Indikator PDB per kapita juga memberi gambaran serupa: pada tahun 2024, PDB per kapita mencapai sekitar Rp 78,62 juta atau USD 4.960 per tahun Indonesia.go.id. Jika dibagi 12, berarti kurang lebih USD 413 per bulan—masih jauh dari cukup untuk membeli barang impor modern dengan harga kompetitif.
Impor Meningkat, Konsumsi Tidak Merata
Rendahnya tarif dan naiknya impor belum menjadikan konsumsi nasional naik signifikan. Data Trading Economics menunjukkan impor Indonesia sempat tembus USD 22,15 miliar pada Agustus 2022—cukup tinggi—dan stabil di kisaran belasan miliar USD hingga 2025 Trading EconomicsSatu Data Perdagangan. Tapi konsumsi rumah tangga yang tergolong rendah menunjukkan bahwa produk-produk impor seolah hanya mengisi rak tanpa benar-benar memperbaiki kesejahteraan mayoritas rakyat.
Ekonomi Kita: Menjadi Konsumen Bukan Produsen
Paradoks ini tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi kita yang semakin mengandalkan produk asing. Kita membuka pintu lebar-lebar untuk impor, tapi industri lokal—termasuk manufaktur elektronik atau pertanian—malah semakin terdesak. Harga beras lokal sering sulit bersaing melawan beras impor, dan UMKM sulit menyaingi produk impor berkualitas dan murah.
Alih-alih menjadi pusat produksi global, Indonesia terjebak sebagai konsumen besar yang tak punya daya beli memadai.
Pertanyaan Fundamental yang Belum Dijawab
-
Mengapa tarif impor turun (secara historis), tetapi indeks harga impor tetap naik?
-
Mengapa daya beli rakyat (konsumsi per kapita) hanya naik sedikit—sekitar 6–7 %—padahal biaya hidup melonjak?
-
Mengapa PDB per kapita mencapai USD 4.960 (2024), tapi distribusinya amburadul, sehingga mayoritas rakyat tetap kesulitan?
-
Apakah kita ingin dikenal sebagai bangsa dengan dompet tipis, tapi rak-rak pada penuh barang impor canggih?
Solusi: Dari Pasar Konsumen ke Kemandirian Ekonomi Rakyat
Paradoks ini hanya bisa diatasi dengan kebijakan yang pro-rakyat dan mendukung produksi dalam negeri. Beberapa pilar solusi:
-
Tingkatkan Upah Riil
Pastikan upah minimum mengikuti kenaikan produktivitas dan inflasi, sehingga rakyat benar-benar memiliki daya beli. -
Lindungi dan Kenyangkan Industri Lokal
Turunkan tarif impor? Boleh—tapi sertai dengan insentif fiskal, subsidi, transfer teknologi, dan akses yang lebih baik ke pasar bagi UMKM dan industri strategis. -
Stabilkan Harga Kebutuhan Pokok
Negara harus hadir aktif dalam memastikan akses pangan, energi, pendidikan, dan kesehatan terjangkau. -
Dorong Kemandirian Ekonomi
Bangun klaster industri strategis, infrastruktur, dan kebijakan hilir untuk memastikan Indonesia tidak hanya jadi pasar.
Penutup: Ekonomi untuk Siapa?
Paradoks murahnya barang impor tapi rendahnya daya beli masyarakat adalah alarm yang tak boleh dianggap sepele. Kebijakan perdagangan tidak boleh hanya menguntungkan segelintir dan merugikan mayoritas rakyat.
Jika pola ini dibiarkan, kita bukan melaju ke kemajuan—tapi menyerahkan kedaulatan ekonomi kepada diskon impor murah. Saatnya kita bertanya: Ekonomi ini untuk siapa? Untuk rakyat, atau hanya untuk mereka yang mampu menyikat harga murah?

