Capita Selecta : Jalan Ketiga Dari Timur

July 31, 2025

Capita Selecta : Jalan Ketiga Dari Timur

Di tengah pusaran ideologi besar abad ke-20, Mohammad Natsir berdiri sebagai suara yang jernih dan kokoh dari dunia Islam.

Dalam karya monumentalnya, Capita Selecta, ia menantang dua kekuatan utama zaman modern: kapitalisme Barat yang mengagungkan kebebasan pasar, dan sosialisme-komunisme Timur yang mendewakan negara serta membungkam iman.

Natsir menolak keduanya bukan karena semangat anti-Barat yang reaktif, melainkan karena ia menawarkan jalan ketiga—jalan tauhid, yang membebaskan manusia bukan hanya dari ketimpangan sosial, tapi juga dari kekosongan spiritual.

Zaman ketika Natsir menulis bukanlah masa yang tenang. Dunia baru saja lepas dari dua perang dunia, dan peta ideologi global terbagi dua: kapitalisme liberal yang dipimpin Amerika Serikat, dan komunisme otoriter yang dimotori Uni Soviet.

Indonesia, negara muda yang merdeka dari penjajahan, berada dalam tekanan untuk memilih jalan. Di medan intelektual dan politik, pertarungan ide antara nasionalisme, sosialisme, dan Islam menjadi semakin tajam.

Capita Selecta lahir dalam konteks itu: sebagai argumen, sebagai penegasan ideologis, dan sebagai tawaran etis.

Terhadap kapitalisme, Natsir tidak bersikap lunak. Baginya, sistem ini telah menciptakan ketimpangan sistemik dan menindas manusia atas nama kebebasan ekonomi.

Ia menulis, “Kapitalisme yang menyatakan dirinya memberi kebebasan bekerja kepada tiap-tiap orang, sebenarnya memberi kebebasan hanya kepada siapa yang mempunyai modal.” (Capita Selecta, Jilid I, hlm. 53).

Pernyataan ini langsung bertentangan dengan gagasan Adam Smith, bapak kapitalisme klasik, yang menyatakan bahwa “invisible hand” dari pasar bebas akan membawa keseimbangan dan kesejahteraan bagi semua.

Namun Natsir melihat kenyataan di lapangan berbeda: pasar bebas yang dikuasai oleh segelintir pemilik modal justru mempersempit akses bagi mayoritas.
Lebih tajam lagi, Natsir menyebut bahwa sistem kapitalisme telah “menurunkan martabat manusia menjadi alat produksi belaka, sebagai mesin penghasil kekayaan bagi kaum pemodal.”

Gagasan ini sangat dekat dengan kritik Karl Marx dalam Das Kapital, yang menyebut manusia (proletar) menjadi terasing dari hasil kerjanya sendiri karena seluruh nilai lebih disedot oleh pemilik alat produksi.

Namun perbedaannya mendasar: Marx menginginkan penghapusan kepemilikan pribadi dan menggantinya dengan kontrol negara, sedangkan Natsir justru menegaskan pentingnya kepemilikan individu yang adil—bukan monopoli kapital, tapi juga bukan penghapusan hak milik.

Pada titik inilah Natsir berselisih tegas dengan sosialisme dan komunisme. Ia menolak gagasan negara sebagai pusat kebenaran dan pengatur tunggal kehidupan.

Baginya, “komunisme menghilangkan hak milik pribadi bukan karena ia tidak suka kepada penindasan, tetapi karena ingin mengganti penguasa lama dengan penguasa baru: negara.” (Capita Selecta, Jilid II, hlm. 44).

Ia sangat mengkritik gagasan Lenin yang menyatakan bahwa “agama adalah alat kaum borjuis untuk membodohi massa,” dan menilai penghapusan agama di Uni Soviet sebagai bentuk penindasan baru.

Natsir menulis: “Negara yang membatasi ibadah, adalah negara yang telah merampas hak paling dasar manusia: kebebasan hati nurani.”

Dalam The Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa “sejarah masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas.”
Natsir menolak pandangan ini secara fundamental. Ia menulis, “Islam tidak melihat sejarah sebagai pertarungan antara pemilik dan buruh, tapi sebagai ujian antara taqwa dan kezaliman.” (Capita Selecta, Jilid I, hlm. 20).

Menurutnya, keadilan sosial tidak bisa ditegakkan dengan mengadu domba kelas, tetapi dengan menghidupkan etika tauhid yang mengajarkan persaudaraan dan keadilan sebagai nilai ilahiah, bukan sekadar tujuan revolusioner.

Yang menarik, Natsir bukan anti-Barat secara membabi buta. Ia cukup akrab dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Toynbee, Russell, atau bahkan Max Weber. Ia membaca Barat secara kritis, bukan paranoid.

Dalam salah satu esainya, ia menulis, “Kita tidak membenci Eropa. Tetapi kita menolak untuk diperintah oleh kerangka berpikir Eropa, yang menempatkan agama di luar ruang hidup.”

Natsir membayangkan sebuah masyarakat yang adil tanpa harus membuang iman.
Sebuah tatanan sosial yang berkeadaban, bukan sekadar efisien atau revolusioner.

Dalam kerangka itu, ia menegaskan bahwa “Islam adalah sistem hidup yang lengkap. Ia tidak memisahkan antara akidah dan amal, antara masjid dan pasar, antara ibadah dan politik.” (Capita Selecta, Jilid I, hlm. 12).

Ini adalah respon langsung terhadap sekularisme, baik yang datang dalam bentuk kapitalisme maupun komunisme.

Kini, ketika dunia telah menyaksikan kegagalan komunisme dalam praktik, dan menyaksikan pula wajah bengis kapitalisme digital yang menciptakan jurang kekayaan ekstrem, gagasan-gagasan Natsir justru menjadi semakin relevan.

Ketika hak hidup manusia ditentukan oleh algoritma dan nasib buruh ditentukan oleh startup unicorn, kita melihat bahwa manusia sedang kembali menjadi “alat produksi”—hanya saja kali ini dalam bentuk digital.

Ketika agama dianggap beban atau sekadar identitas budaya tanpa kekuatan etis, kita melihat kekosongan moral yang membuka jalan bagi populisme, kekerasan, dan ketidakpedulian.

Mohammad Natsir menulis untuk zaman yang telah lewat, tapi juga untuk zaman yang terus datang. Ia mengingatkan bahwa perjuangan keadilan tidak boleh tercabut dari akar nilai, dan bahwa iman tidak boleh dibungkam atas nama efisiensi atau ideologi.

Di antara suara bising pasar dan propaganda negara, Capita Selecta tetap bergema sebagai suara hati nurani: bahwa manusia diciptakan untuk menjadi hamba Tuhan,bukan budak sistem.

Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam