Era baru ketika rakyat bicara dengan bukti, dan lembaga negara tak lagi punya ruang untuk pura-pura.
Oleh: Agus M Maksum
Saya tidak sedang ingin menggugat.
Saya hanya mencatat, seperti mencatat perubahan cuaca:
Dulu kita percaya kalender.
Hari ini kita lebih percaya aplikasi cuaca real-time di ponsel.
Begitulah juga cara kita mempercayai kebenaran hari ini.
Di masa lalu, kebenaran adalah milik lembaga.
Kata pengadilan adalah putusan tertinggi.
Kata kampus adalah kata ilmiah yang tak terbantah.
Kata polisi—dulu—adalah akhir dari sebuah perkara.
Tapi sekarang?
Publik justru membuka perkara yang sudah “ditutup”.
Mereka bawa senter. Bawa kaca pembesar.
Dan membongkar satu per satu narasi yang dulu dianggap suci.
Roy Suryo dan Era Forensik Visual
Roy Suryo, misalnya.
Bukan profesor. Bukan penyidik. Bukan ahli hukum pidana.
Tapi dengan kemampuan digital forensik ala rumahan, ia menumbangkan narasi resmi negara.
Caranya?
Tak muluk. Ia hanya membandingkan:
– Tanda tangan
– Posisi font
– Layout ijazah
– Tahun penerbitan
– Ketiadaan dokumen fisik
Lalu ia ucapkan satu kalimat yang membuat jantung lembaga resmi berhenti sejenak:
“99,9% palsu.”
Dan anehnya—atau justru lucunya—rakyat lebih percaya Roy daripada UGM.
Lebih percaya akun-akun Twitter daripada hasil gelar perkara Bareskrim.
Kenapa?
Panggung Kebenaran Formal Itu Runtuh
Karena lembaga negara kehilangan satu hal yang dulu mereka anggap remeh: kepercayaan.
UGM, kampus legendaris itu, tak lagi dibaca sebagai lembaga akademik yang netral.
Kini ia lebih mirip kantor birokrasi—seakan salah satu kementerian.
Setiap pernyataannya tidak dinilai dari isinya, tapi dari konteks politik di belakangnya.
Polisi? Sudah lama publik tak berharap banyak.
Terlalu banyak kasus yang “diatur”. Terlalu banyak penyidik yang “ditekan”.
Dan pengadilan? Jangan ditanya.
Putusan-putusan mereka kadang seperti naskah panggung.
Ada dialog. Ada akting. Ada ending. Tapi bukan keadilan.
Maka wajar jika rakyat berkata:
> “Kalau benar, mana buktinya?”
“Kalau asli, mana ijazah fisiknya?”
“Kalau tak bisa tunjukkan, berarti bukan kita yang ngawur. Kalian yang menipu.”
Kebenaran Material: Era Baru Dimulai
Dulu, rakyat hanya bisa curiga.
Hari ini, mereka bisa menunjuk.
Dulu, hanya bisa berbisik. Sekarang bisa live stream.
Inilah era kebenaran material:
Bukan lagi soal siapa yang bicara, tapi apa yang ditunjukkan.
Dan lembaga negara tidak siap menghadapi itu.
Mereka masih berpikir bisa menutup-nutupi dengan meterai, tandatangan, dan stempel.
Mereka belum sadar: publik sekarang belajar membedakan font Arial dan Times New Roman.
Lucu, ya?
Negara dengan anggaran triliunan kalah oleh netizen dengan modal laptop bekas.
Tapi Ini Bukan Lucu. Ini Bahaya.
Karena jika kebenaran formal tak lagi dipercaya, maka semua bentuk legitimasi negara bisa runtuh.
Bayangkan:
– Surat suara bisa dianggap palsu.
– Sertifikat tanah dianggap rekayasa.
– Putusan pengadilan dianggap akting.
Ini bukan cuma soal ijazah.
Ini tentang bocornya tangki kepercayaan nasional.
Dan kalau kebocoran ini dibiarkan, lama-lama kapal besar bernama Indonesia akan karam—bukan karena badai luar, tapi karena air yang masuk dari dalam.
Negara Perlu Menjawab Dengan Fakta, Bukan Marah
Kalau memang benar ijazah itu asli, maka tunjukkan.
Scan, tayangkan, biarkan publik melihat langsung.
Jangan hanya bilang,
> “Sudah ada hasil gelar perkara.”
“Sudah diperiksa saksi.”
“Sudah dinyatakan sah.”
Karena rakyat hari ini tidak butuh “sudah”.
Rakyat hari ini butuh “lihat ini”.
Dan bila negara tetap menolak membuka kebenaran materiil, maka jangan heran bila rakyat mulai membuka segalanya—dengan cara mereka sendiri.
Penutup
Saya tidak sedang ingin menghina siapa-siapa.
Saya hanya menulis, seperti biasa:
Dengan tangan yang gemetar, tapi hati yang lega.
Karena saya tahu:
Kebenaran yang terus disembunyikan,
Akan menemukan jalannya—meskipun harus lewat timeline Twitter.
Dan saat itu datang,
panggung kebenaran formal akan runtuh oleh suara netizen.
Satu klik.
Satu share.
Satu tangkapan layar.
Lebih mematikan dari seribu pasal dan sepuluh pengacara.
Selamat datang di zaman baru:
Ketika rakyat bicara dengan bukti. Dan negara tak lagi bisa pura-pura.

