Kutukan Kekayaan, Refleksi 40 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI

July 8, 2025

Oleh: Gilar WS, Jakarta, 8 Juli 2025.

Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang pengusaha tekstil di Bandung yang setiap bulan harus membayar tagihan listrik USD 0,11 per kWh untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Di seberang Laut China Selatan, rekan bisnis Anda di Vietnam cukup membayar USD 0,07-0,09 per kWh untuk energi yang sama. Ironisnya, negeri Anda—Indonesia—memiliki cadangan batu bara terbesar keempat di dunia, sementara Vietnam harus mengimpor sebagian besar kebutuhan energinya. Bagaimana mungkin negara yang dijuluki “negeri zamrud khatulistiwa” ini justru kalah efisien dari negara yang dulunya kita sebut “tetangga miskin”?

Inilah paradoks klasik Indonesia: kaya sumber daya, miskin pengelolaan. Seperti pepatah Jawa mengatakan, _”duwe mas, nanging ra duwe timbangan” punya emas, tapi tidak punya timbangan. Kita memiliki segala yang dibutuhkan untuk listrik murah, namun entah mengapa justru menciptakan sistem yang membuat industri kita terbebani.

Subsidi: Obat yang Jadi Penyakit

Yang paling menggelitik dari fenomena ini adalah peran subsidi listrik di Indonesia. Bayangkan saja: pemerintah menggelontorkan USD 5,11 miliar per tahun—setara dengan dana infrastruktur beberapa provinsi—untuk “membantu” rakyat membayar listrik yang lebih murah. Namun, seperti gula aren yang berubah menjadi racun karena kebanyakan, subsidi ini justru menciptakan penyakit sistemik yang lebih parah.

PLN, sebagai operator tunggal, terjebak dalam lingkaran setan: rugi operasional ditutup subsidi, subsidi menciptakan disinsentif efisiensi, inefisiensi menciptakan kerugian yang lebih besar. Akhirnya, siapa yang membayar? Ya, kita semua—melalui pajak dan tarif yang disesuaikan untuk menutup lubang yang terus membesar seperti kawah Kelud yang tak pernah berhenti mengeluarkan material vulkanik.

Kontrasnya dengan Vietnam menohok. Negara yang dulunya kita pandang sebelah mata ini hanya memberikan subsidi VND 50.000 per bulan—sekitar Rp 30.000—khusus untuk rumah tangga miskin terdaftar. Tidak ada drama berlebihan, tidak ada subsidi yang bocor ke rumah mewah di PIK. Tepat sasaran, efisien, dan tidak menciptakan distorsi pasar. Kita? Masih sibuk memberikan subsidi silang yang justru menguntungkan mereka yang sudah berkecukupan sambil membebankan sisanya kepada sektor industri.

Batu Bara Jadi Beban, Air Jadi Berkah

Indonesia bertumpu pada PLTU batu bara untuk 61,8% pembangkitan listriknya. Kita seperti Pak Belalang yang bangga punya gudang penuh padi, tapi tidak tahu cara memasaknya dengan efisien. Teknologi subcritical yang dominan dipakai di Indonesia membuat efficiency factor PLTU kita hanya 49%—jauh dari standar optimal 64-73%. Belum lagi biaya transportasi batu bara antar pulau yang menghabiskan ongkos seperti ngongkos becak dari Sabang sampai Merauke.

 

Sementara itu, Vietnam dengan cerdik memanfaatkan hidroelektrik untuk 35,4% kebutuhan listriknya. Air terjun dan sungai-sungai mereka diubah menjadi pabrik listrik yang bekerja 24 jam tanpa bahan bakar, tanpa asap, tanpa drama. Sekali bangun, bisa dipakai 50-100 tahun. Maintenance? Minimal. Biaya operasional? Hampir nol setelah investasi awal. Bandingkan dengan PLTU kita yang seperti mobil tua: rakus bahan bakar, sering rusak, dan mahal perawatannya.

 

Yang lebih ironis lagi, Indonesia sebenarnya memiliki potensi hidroelektrik 75 GW—cukup untuk menerangi seluruh Jawa-Bali berkali-kali lipat. Tapi entah mengapa, kita lebih suka menggali lubang di perut bumi daripada menangkap air hujan dari langit. Mungkin karena menggali tanah terasa lebih “gagah” ketimbang membendung sungai.

Geografi: Berkah atau Kutukan?

Kalau Vietnam ibarat rumah panggung yang panjang dan mudah dialiri listrik dari ujung ke ujung, Indonesia seperti rumah joglo yang tersebar di berbagai petak sawah terpisah. Sebagai negara kepulauan dengan 17.000 pulau, kita menghadapi tantangan yang tidak dialami negara kontinental manapun.

Membangun interkoneksi listrik antar pulau membutuhkan investasi USD 20 miliar—setara dengan dua kali lipat APBN Pendidikan tahunan. Akibatnya, masing-masing pulau terpaksa membangun pembangkit sendiri-sendiri tanpa bisa berbagi beban. Seperti setiap rumah di kampung harus punya genset sendiri, meski sebenarnya satu genset besar bisa melayani satu RT.

Hasilnya? Biaya pembangkitan listrik di wilayah timur Indonesia mencapai USD 0,14-0,19 per kWh—hampir tiga kali lipat dari Jawa-Bali. Bayangkan kalau Anda pemilik pabrik di Papua: selain harus mengurus perizinan yang berlapis-lapis, Anda juga harus menanggung biaya listrik yang lebih mahal dari rata-rata global.

Vietnam, dengan garis pantai yang panjang tapi wilayah yang menyatu, bisa mengoptimalkan grid nasional mereka seperti mengalirkan air dalam paralon panjang. Excess power dari utara bisa langsung dialirkan ke selatan tanpa harus melompat-lompat antar pulau seperti Tarzan.

PLN adalah raksasa yang terlalu nyaman dengan posisinya. Seperti RT yang sudah menjabat 20 tahun tanpa ada yang berani mencalonkan diri sebagai penggantinya. Monopoli vertikal dari hulu ke hilir menciptakan zona nyaman yang menumpulkan insting efisiensi.

Tidak ada tekanan kompetitif, tidak ada benchmark performance dengan operator lain, tidak ada ancaman akan kehilangan customer. Yang ada hanya ritual tahunan penyesuaian tarif yang selalu berujung pada “kenaikan wajar sesuai inflasi”—seolah-olah inflasi adalah hukum alam yang tidak bisa dilawan.

Vietnam, meski EVN masih dominan, sudah mulai membuka keran kompetisi melalui Direct Power Purchase Agreement dan competitive bidding untuk proyek-proyek baru. Hasilnya, ada tekanan alamiah untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya. Seperti perbedaan antara pasar tradisional dengan warung yang monopoli di kampung: yang satu harus bersaing memberikan harga terbaik, yang lain bisa seenaknya karena tidak ada alternatif.

Tarif listrik industri yang 22-57% lebih tinggi dari Vietnam bukan sekadar angka di atas kertas. Ini adalah pisau yang perlahan mengikis daya saing industri Indonesia di kancah global. Bagi industri tekstil, listrik menyumbang 15-20% total biaya produksi. Bayangkan handicap 22% dalam komponen biaya utama—seperti lari marathon dengan menggendong karung beras 10 kg di punggung.

Akibatnya, beberapa investor mulai mempertimbangkan eksodus ke negara dengan iklim energi yang lebih kondusif. Industrial flight bukan lagi ancaman kosong, tapi realitas yang mulai terjadi. Pabrik-pabrik yang seharusnya menyerap jutaan tenaga kerja Indonesia, perlahan bermigrasi ke Vietnam, Thailand, atau Malaysia.

Yang lebih menyedihkan, kerugian ini bukan hanya finansial tapi juga opportunity cost yang hilang: potensi reinvestasi untuk modernisasi teknologi, pengembangan R&D, dan peningkatan kapasitas produksi yang terhambat karena margin keuntungan terkikis oleh biaya energi yang tidak kompetitif.

 

Membongkar Ilusi, Merangkul Realitas

 

Kita telah terlalu lama hidup dalam ilusi bahwa memiliki sumber daya alam melimpah otomatis membuat kita unggul dalam mengolahnya. Seperti percaya bahwa punya kebun durian otomatis membuat kita jago membuat dodol durian. Realitasnya, antara memiliki dan mengolah ada jurang yang namanya competency dan institutional capacity.

Vietnam, dengan keterbatasan sumber dayanya, justru terpaksa menjadi kreatif dan efisien. Mereka seperti ibu rumah tangga yang harus mengolah bahan seadanya menjadi masakan lezat, sementara kita seperti orang kaya yang punya dapur lengkap tapi masakannya selalu gosong karena tidak tahu cara mengatur api.

Reformasi yang dibutuhkan bukan sekadar tweaking di sana-sini, tapi pembongkaran paradigma mendasar: dari subsidi komoditas ke targeted cash transfer, dari monopoli ke controlled competition, dari ketergantungan batu bara ke diversifikasi energi terbarukan. Dan yang paling penting, dari mindset “yang penting ada” ke “yang penting efisien.”

 

Pertanyaannya sekarang: berapa lama lagi kita akan terus menikmati sensasi menjadi bangsa yang kaya energi tapi miskin efisiensi? Berapa banyak lagi investor yang akan kita lepas ke tetangga-tetangga yang lebih cerdik mengelola apa yang mereka punya? Ataukah kita akan terus tenggelam dalam paradoks menjadi bangsa yang berlimpah energi namun justru terbebani olehnya—seperti Tantalus dalam mitologi Yunani, yang kekal haus meski dikelilingi air?

 

Mungkin sudah saatnya kita belajar dari pepatah Minang: “Alam takambang jadi guru” —bukan hanya untuk mengambil apa yang ada di alam, tapi untuk belajar bagaimana alam itu sendiri bekerja dengan efisien tanpa ada yang terbuang.