Wawasan Politik Dan Islam Bernegara Di Indonesia

June 23, 2025

WAWASAN POLITIK DAN ISLAM BERNEGARA DI INDONESIA
Menyambut Refleksi Piagam Jakarta, 22 Juni 1945
Oleh
Nunu A Hamijaya

Sejarah panjang umat islam dan bangsa Indonesia menyisakan salah satu babak penting dalam perjalanan relasi antara Islam dan negara: lahirnya Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Piagam ini menjadi fondasi awal dari rumusan dasar negara, sekaligus menyimpan jejak penting aspirasi umat Islam dalam mewarnai arah Indonesia merdeka. Pesan terpenting salah-satunya bhw ‘tujuh kata’ itu memberi konsekuensi ‘bahwa Negara RI berkewajiban menjalankan syariat Islam dalam berpemerintahan dan bernegara dan melindungi rakyat bergama Islam dalam menjalankan syariat islam tersebut.

Namun, Pancasila telah diposisikan sebagai konsensus nasional antara berbagai golongan, termasuk dengan pihak non-Islam. Pilihan konsensus ini, meskipun terlihat sebagai jalan tengah, sesungguhnya menyimpan potensi konflik laten: siapa yang berhak menafsirkan Pancasila paling sah dan otoritatif? Maka dari itu, sejak awal berdirinya negara ini, tafsir terhadap Pancasila menjadi ajang perebutan pengaruh kekuasaan, yaitu di parlemen dan pemerintahan.

Tafsir dan Pergulatan Kekuasaan atas Pancasila

Era Parlementer Awal (1945–1947) menampilkan wajah rapuh negara baru. Diplomasi politik seperti Perjanjian Linggarjati dan Renville justru melemahkan posisi Republik Indonesia. Penangkapan tokoh nasional ( Soekarno,Hatta,dan Agus Salim) di Bangka hingga disahkannya Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 melahirkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian berubah nama menjadi NKRI. Namun, fakta sejarahnya, bahwa kedaulatan yang diberikan Belanda bukan kepada Negara RI Proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan kepada Negara RIS — sebuah entitas hasil perjanjian internasional, bukan perjuangan kemerdekaan sejati.

Era Orde Lama menafsirkan Pancasila dalam bayang-bayang ideologi kiri dan komunisme.Era Orde Baru, Soeharto mengokohkan tafsir tunggal dengan semangat “Jawaisme”, menjadikan Pancasila sebagai alat dominasi kekuasaan.Era Reformasi, pasca amandemen UUD 1945, Pancasila digiring ke arah tafsir liberal-sekuler. Di banyak lini, bahkan muncul gejala islamophobia dan penyingkiran Islam dari ranah ideologis-politik, seakan Islam adalah ancaman terhadap kebangsaan.

Masyumi dan Gagalnya Sistem Politik Islam

Dalam sejarah politik nasional, dengan adanya Makloemat Wakil Presiden M. Hatta Nomor X/1945, umat Islam Indonesia pernah memiliki partai politik besar: Masyumi. Namun, meskipun dihuni oleh tokoh-tokoh negarawan Muslim yang bersih dan santun, Masyumi gagal menancapkan dasar-dasar sistem politik Islam secara institusional. Pembubarannya oleh Soekarno semakin menunjukkan bahwa kekuatan Islam politik tidak mendapat tempat yang layak. Perjuangan Islam selalu dipinggirkan, direduksi hanya sebagai “nilai etia-moral”, bukan sebagai sumber utama sistem politik dan kenegaraan.

Konsekuensinya, sistem demokrasi dan ekonomi kapitalistik terus dipertahankan, dibungkus dengan narasi “nasionalisme modern” dan “moderasi beragama”, yang justru semakin menjauhkan agama (Islam) dari peran substansial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Piagam Jakarta dan Cacat Konseptual Sejak Awal

Piagam Jakarta dengan “Tujuh Kata” (…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…) hanyalah penanda kecil dari perjuangan besar. Kata-kata itu hilang hanya karena satu kompromi atas keberatan satu pihak. Padahal, itulah yang menjadi titik pengikat konstitusional bagi umat Islam terhadap negara. Faktanya, sampai hari ini, semangat dan ikhtiar penegakan syariat Islam dalam sistem kenegaraan tak pernah benar-benar dijalankan.

Kegagalan Internal: Tafarruq dan Proxy War

Kelemahan terbesar justru ada pada internal umat Islam sendiri. Elit-elit politik dan ulama gagal menyatukan persepsi dan strategi. Tafsir terhadap Pancasila dari sudut pandang Islam justru menjadi sumber perpecahan. Keterbelahan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan kebangkitan Islam sebagai kekuatan politik nasional. Maka terjadilah proxy war — perang pengganti, di mana umat Islam bertikai sesama sendiri, sementara kekuasaan terus dikendalikan oleh kekuatan asing dan sekuler.

Realitas ini menjadikan umat Islam di Indonesia — meskipun mayoritas secara jumlah — tampak seperti buih di lautan: terombang-ambing, tercerai-berai, dan tidak memiliki kekuatan menentukan arah bangsa. Kekuasaan, sebaliknya, lebih banyak berada di tangan kelompok minoritas yang tidak menjadikan Islam sebagai landasan utama.

Solusi: Rekonstruksi Ulang Jalan Politik Umat Islam

1. Memahami ulang Pancasila secara konseptual dan historis, dengan mengakui Piagam Jakarta sebagai bagian otentik dari semangat kemerdekaan bangsa.

2. Mengonsolidasikan kekuatan politik Islam bukan hanya dalam partai, tetapi juga dalam lembaga pendidikan, dakwah, media, dan organisasi sosial.

3. Menumbuhkan kesadaran politik Islam yang adil, moderat, dan integral, yang mampu bersaing dalam sistem demokrasi tanpa kehilangan identitas syariah.

4. Membentuk kepemimpinan kolektif umat, menyatukan ormas-ormas Islam, partai Islam, dan pesantren dalam satu garis perjuangan kebangsaan yang berasaskan nilai-nilai Islam.

5. Mengarusutamakan dakwah kebangsaan, yakni memperjuangkan Islam bukan dengan retorika keras atau takfiri, melainkan melalui narasi solusi, kemaslahatan, dan keberadaban.

> “Negara ini akan hancur jika tidak Islam; dan Islam tidak akan tegak tanpa strategi dan kesatuan umat.”

Kantor DPP Masyumi, Jakarta, 22 Juni 2025