Mengapa Indonesia Terlalu Mudah Tertipu?
Divonews, 16 mei 2025
Oleh Tamzil Linrung
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan perubahan drastis dalam wajah kekuasaan. Seorang presiden yang dulu dipuja sebagai simbol kesederhanaan dan harapan rakyat, kini perlahan membuka tabir ilusi yang selama ini menyelimuti pemerintahannya. Janji-janji tentang pertumbuhan ekonomi, pemberantasan korupsi, dan pemerintahan bersih semakin kabur ditutupi kenyataan faktual; utang negara tuju ribu trilyun, pertumbuhan ekonomi jalan ditempat, sistem hukum yang suka-sukanya aja.
Mengapa rakyat begitu mudah tertipu?
Ada sejumlah akar persoalan yang saling berkelindan.
Pertama, budaya politik Indonesia masih sangat personalistik. Politik massa lebih tertarik pada siapa ketimbang apa. Sosok seperti Jokowi dicitrakan sebagai “manusia biasa” yang berhasil menembus elitisme kekuasaan. Ia menjadi mitos hidup rakyat jelata, yang naik ke puncak kekuasaan. Narasi ini membius publik dan mengaburkan kenyataan bahwa pemerintahan bukan soal asal-usul, tapi soal sikap dan arah kebijakan. Dalam iklim demokrasi yang matang, pemimpin dinilai dari gagasan, rekam jejak kebijakan – bukan kisah sentimental masa lalu.
Kedua, media arus utama banyak yang bertransformasi menjadi corong kekuasaan. Kritik dieliminasi, pujian dibesar-besarkan. Publik tidak lagi disuguhi fakta, melainkan persepsi olahan para jurnalis. Dalam lanskap informasi yang dikendalikan seperti ini, kebenaran sulit ditemukan, propaganda dikemas secara profesional.
Ketiga, rendahnya literasi, membuat masyarakat mudah dikelabui. Rasio utang dibungkus dengan istilah-istilah teknokratis yang menenangkan, padahal dampaknya nyata dimasyarakat. Tekanan fiskal dan warisan beban pada generasi mendatang, tidak pernah benar-benar dijelaskan. Pertumbuhan ekonomi dipoles aman, tetapi di lapangan kualitas hidup tetap stagnan bahkan merosot. “Dalam ruang publik tanpa literasi, kebohongan bisa tampak seperti kebenaran”.
Keempat, politik transaksional yang meminggirkan rakyat sebagai subjek demokrasi. Janji bansos, proyek pembangunan, dan akses ekonomi dijadikan alat untuk membeli dukungan masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang sulit, rakyat lebih memilih kestabilan semu ketimbang perubahan struktural. “Demokrasi pun berubah menjadi jual beli suara, bukan partisipasi kualitatif.”
Kelima, represi terhadap kritik menciptakan budaya takut. Di era digital ini, satu unggahan bisa berujung pada penangkapan aparat. Ini melahirkan masyarakat yang tahu ada yang salah, tapi memilih diam demi rasa aman. “Demokrasi tanpa kebebasan bersuara keritis akan menumbuhkan feodalkrasi” (demokrasi yang didominasi rasa dan selera bukan penalaran rasional).
Keenam, propaganda digital dijalankan secara sistematis dan terorganisir. Buzzer, manipulasi data, disinformasi menjadi senjata utama. Suara-suara kritis bukan hanya dibungkam, tetapi juga dihancurkan karakternya. Opini publik tidak tumbuh secara organik, tapi dipelintir oleh algoritma dan uang.
Namun, menyalahkan rakyat bukan jalan keluar. Rakyat Indonesia bukan bodoh, mereka adalah korban dari sistem yang memproduksi kebodohan secara terstruktur. Mereka dibanjiri janji, tapi dijauhkan dari informasi jujur, lalu ditekan untuk tunduk.
Harapan baik akan muncul jika masyarakat bisa memutus lingkaran ini. Membangun pendidikan politik, memperkuat media independen, dan mendorong partisipasi warga adalah langkah kunci. “Demokrasi yang sehat tidak lahir dari pemimpin sempurna, melainkan dari rakyat yang kritis, berani bertanya, dan tak mau dibohongi”.
Sudah saatnya rakyat Indonesia bangkit bukan hanya untuk memilih, tapi untuk memahami, menilai dan mengoreksi. Sebab “kekuasaan yang tak diawasi adalah kekuasaan yang siap untuk mengkhianati”

