Jokowi Dapat Dijatuhi Hukuman Mati ? (11)

April 7, 2025

JOKOWI DAPAT DIJATUHI HUKUMAN MATI ? (11)

Abdullah Hehamahua

Penulis, dalam seri ke-9, menginformasikan, korupsi politik Jokowi, setidaknya ada lima kasus besar, yakni: UU Minerba, UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan UU Kesehatan.
Amandemen undang-undang KPK merupakan salah satu korupsi politik Jokowi. Sebab, KPK tidak dilibatkan samasekali dalam proses tersebut. Tragisnya, pimpinan KPK meminta audiensi dengan presiden, tidak dilayani. Pimpinan KPK meminta draft amandemen undang-undang KPK di Kemenkum HAM, tidak diberikan. Hal-hal inilah yang oleh Masyarakat Anti Korupsi, menilai, Jokowi punya niat jahat dalam mengamandemen undang-undang KPK.

Penulis sadar, hanya kitab suci yang tidak bisa diamandemen. Semua kitab undang-undang, termasuk UUD 45, dapat diamandemen. Namun, amandemen tersebut dalam upaya membaiki atau menyempurnakan hal-hal yang dinilai masih kurang pas. Faktanya, pasca amandemen undang-undangnya, KPK terjun payung, jatuh terjerembab ke lembah kegelapan, penuh nista dan hina.

KPK, Harapan Masyarakat

KPK, sebelum dirampok Jokowi, memiliki prestasi luar biasa. Bahkan, menjadi kebanggaan Indonesia, sampai-sampai menjadi rujukan beberapa negara. Prestasi KPK tersebut, antara lain:
1. KPK adalah Lembaga Negara yang selalu menduduki rangking pertama dalam memeroleh kepercayaan masyarakat, baik secara nasional, maupun internasional.
2. KPK selalu memeroleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK, setiap tahun.
3. Index Persepsi Korupsi (IPK) terus bergerak naik secara gradual. Ia dimulai dari 1,9 pada tahun 2004 sampai mencecah angka 40 pada tahun 2019.
4. Tidak ada kasus korupsi yang ditangani KPK, lolos dalam proses peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri sampai ke tahap terakhir, MA.
5. Tidak ada kekalahan yang dialami KPK dalam kasus Praperadilan kecuali beberapa kasus sewaktu Jokowi menjadi presiden.

Dampak Negatif Amandemen UU KPK

1. KPK tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat. Bahkan, KPK berada di urutan kelima sebagai Lembaga Negara yang mendapat kepercayaan masyarakat di bawah TNI, Kejaksaan, MA, dan Kepolisian.
2. Beberapa kasus yang dibawa ke praperadilan, diterima Pengadilan, seperti kasus BG dan gubernur Kalsel.
3. Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat negara, elit politik penguasa, serta keluarga Jokowi, tidak ditangani KPK. Kasus BLBI yang melibatkan Megawati, BG sebagai Wakil Kapolri, Harun Masiko, serta Gibran dan Kaesang, tidak ditangani KPK.
4. IPK Indonesia terjun payung dari angka 40 ke 32, lebih rendah dari Timor Leste.
5. Pelanggaran Kode Etik dan SOP KPK dilakukan secara besar-besaran oleh pejabat dan pegawai KPK. Ada 70 pegawai yang terlibat proses pemerasan terhadap tahanan dan keluarga.

Masih Perlukah KPK ?

Asumsi masyarakat, amandemen UU KPK yang dilakukan Jokowi akan melemahkan KPK. Penulis, waktu itu (2019), di forum ILC, mengatakan, amandemen UU No. 30/2002 itu bukan melemahkan, tapi mengsakratul-mautkan KPK. Sebab, jika melemahkan, seseorang setelah mengonsumsi herba tertentu, dia pulih kembali.

Sakratul-maut adalah kondisi seseorang yang hanya menunggu waktu, sejam, sehari, sepekan, atau sebulan, lalu meninggal dunia. Itulah kondisi KPK, hanya menunggu waktu untuk wafat. Beberapa indikatornya, antara lain:

1. Komisioner KPK, bukan lagi Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum. Jadi, sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan di mana penentuan seseorang menjadi tersangka, merupakan otoritas Penyidik.
2. KPK melalui undang-undang ciptaan Jokowi, berwewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPT). Jadi, sama dengan kepolisian dan kejaksaan di mana jika seseorang ditetapkan tersangka dan setelah ATM-nya (?) habis, diterbitkanlah SP3.
3. Penyelidik, Penyidik, atau JPU KPK harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan. Maknanya, mata rantai perolehan ijin penyadapan, bertambah panjang. Hal tersebut memberi peluang ke target KPK untuk menghilangkan barang bukti. Bahkan, bisa melarikan diri ke luar negeri.
4. Masyarakat, berdasarkan tiga hal di atas, akan bertanya, apa lagi perbedaan di antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.? Jika sama saja fungsi dan perannya, bukankah terjadi pemborosan anggaran.?. Konsekwensi logisnya, harus ada yang dihilangkan. Kepolisian atau Kejaksaan.? Tidak bisa. Sebab, keduanya ada dalam UUD, baik UUD 45, maupun UUD 2002. Bubarkan KPK.? Bisa. Sebab, KPK tidak ada dalam UUD.

Masa Depan Indonesia Tanpa KPK

Seseorang, baik mau menjadi pegawai, Penasihat, maupun Komisioner KPK, tidak mengeluarkan serupiah pun. Sebab, seluruh pembiyaan rekrutmen dan seleksi, ditanggung APBN.

Keadaan sebaliknya yang terjadi dalam proses rekrutmen, seleksi, dan promosi di Kementerian dan Lembaga Negara di luar KPK. Adik ipar kandungku, tamatan SMP. Beliau menjadi anggota polisi. Beliau, tahun 1992, mengirimiku surat, meminta sekian ratus ribu rupiah. Alasannya, untuk melanjutkan pendidikan agar pangkatnya bisa naik dari kopral ke sersan. Menurutnya, uang tersebut diminta oleh orang di Mabes Polri. Kuminta beliau pensiun dengan ijazah SMP-nya saja daripada harus menyetor sejumlah uang yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan.

Pramono Anung, sewaktu menjadi Wakil Ketua DPR RI (2009-2014), menghitung, rerata biaya kampanye caleg DPR, naik 1,5 kali lipat dari Rp. 3,3 miliar pada Pemilu 2009 menjadi Rp. 4,5 miliar pada Pemilu 2014. Beliau menaksir, biaya terkecil yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR waktu itu, Rp.300 juta, dan yang terbesar Rp. 6 miliar.

Namun, dalam Pemilu 2024, salah satu Lembaga survei menemukan, ada caleg di Jakarta yang harus menghabiskan Rp.160 miliar. Menariknya, caleg petahana yang rutin menyalurkan program-program pemerintah, sedikitnya mengeluarkan dana sampai Rp. 20 miliar.

Simpulannya, korupsi politik kedua yang dilakukan Jokowi berupa amandemen undang-undang KPK, berdampak negative secara deret ukur. Pertama, kost politik dalam setiap Pilkades, Pilkada, Pemilu, dan Pilpres, bertambah tinggi. Kedua, kos politik yang tinggi tersebut memicu pejabat eksekutif, legislative, dan yudikatif berebut “proyek” untuk mengembalikan modal politik yang dikeluarkan. Ketiga, korupsi dengan demikian semakin marak karena Aparat Penegak Hukum (APK) ikut melakukan korupsi. Keempat, Indonesia Emas 2045 bisa menjadi Indonesia Cemas.

Salah satu terapi, segera adili Jokowi. Konsekwensi logisnya, berdasarkan pasal 2 ayat 2 undang-undang Tipikor, Jokowi dapat dijatuhi hukuman mati. Semoga !!! (Shah Alam, 6 April 2025).