Partai Islam Indonesia Cabang Bandung, Awal Kiprah M. Natsir dalam Partai Politik Praktis
Oleh: Muhaimin Abu Kayyis
(Aktivis Pemuda Masyumi & Ketua Pemuda Dewan Da’wah Jakarta)
Sejarah pergerakan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kiprah tokoh-tokoh visioner yang mengabdikan hidupnya demi kemajuan umat dan bangsa. Salah satu nama besar yang layak dikenang adalah Mohammad Natsir, seorang tokoh intelektual Islam yang kelak menjadi Perdana Menteri Indonesia. Awal keterlibatannya dalam dunia politik praktis bermula saat ia menjabat sebagai Ketua Partai Islam Indonesia (PII) Cabang Bandung, sebuah tonggak penting yang mengawali perjuangannya di ranah politik nasional.
Lahirnya Partai Islam Indonesia
Partai Islam Indonesia (PII) didirikan pada tahun 1938, di bawah kepemimpinan Wiwoho, seorang mantan Ketua Jong Islamieten Bond (JIB), dengan Dr. Sukiman sebagai wakil ketua. Partai ini menjadi wadah bagi berbagai tokoh Islam dari beragam latar belakang organisasi. Di Yogyakarta, banyak pengurusnya berasal dari Muhammadiyah dan Islam Study Club, sementara di Bandung, tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis) mendominasi barisan perjuangan. Dengan latar belakang yang kaya ini, PII menjadi platform yang strategis untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dalam kancah politik praktis.
M. Natsir: Ketua PII Cabang Bandung
Di Bandung, kepemimpinan PII Cabang dipercayakan kepada seorang pemuda cemerlang bernama Mohammad Natsir. Amanah ini menambah kesibukannya yang memang sudah luar biasa. Selain memimpin Pendidikan Islam sehari-hari, Natsir juga mengajar di Pesantren Persis yang dipimpin oleh Tuan Hassan. Meski demikian, ia menjalankan tugasnya sebagai Ketua PII Cabang Bandung dengan penuh dedikasi, menunjukkan komitmen yang luar biasa terhadap perjuangan umat.
Kiprah Intelektual yang Berpengaruh
Sebagai seorang intelektual, M. Natsir tidak hanya aktif dalam organisasi, tetapi juga dalam dunia penulisan. Ia dikenal dengan tulisan-tulisannya yang mendalam dan argumentatif. Bukan sekadar memberikan komentar singkat atas isu-isu yang berkembang, Natsir kerap menyajikan latar belakang historis yang luas, seakan mengedukasi mereka yang belum tahu atau mengingatkan yang terlupa.
Majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat menjadi saksi produktivitas pemikirannya. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Di Sekitar Petisi Soetojo” (Pandji Islam, Desember 1938), di mana ia dengan tegas menolak petisi yang diajukan kepada pemerintah kolonial Belanda. Dalam tulisannya, Natsir menyatakan bahwa “tertolaknya petisi tersebut lebih penting dari petisinya sendiri,” sebuah kritik tajam yang menunjukkan keteguhan sikapnya terhadap kolonialisme. Pandangan ini memperlihatkan kecerdasan dan keberaniannya dalam memperjuangkan hak-hak bangsa.
Inspirasi bagi Generasi Selanjutnya
Kepemimpinan M. Natsir di PII Cabang Bandung merupakan awal yang gemilang dalam karier politiknya. Melalui organisasi ini, ia tidak hanya belajar seni memimpin, tetapi juga membangun dasar intelektual dan moral yang kelak membawanya menjadi tokoh nasional. Tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa perjuangan tidak hanya dilakukan di jalanan, tetapi juga melalui pena yang mampu menggugah kesadaran banyak orang.
Kisah M. Natsir adalah inspirasi bagi generasi penerus, mengingatkan bahwa perjuangan membutuhkan dedikasi, ilmu, dan keberanian. Dari Bandung, ia memulai langkahnya, menorehkan jejak yang tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah perjuangan Islam di Indonesia.
—
Tulisan ini terinspirasi dari buku “M. Natsir: Sebuah Biografi” karya Ajip Rosidi.